Perjalanan kehidupun terus berjalan kadang cepat seperti kawanan ku
Tuhan ternyata mendengar apa yang dulu aku pernah perbincangkan dengan istriku, bahkan sudah pernah aku tulis di FHWL (From Home With Love) buku pertamaku. Dulu istriku pernah bilang ke Syawa anak kedua kami di suratnya pada artikel berjudul “Surat Buat Syawa” bahwa ‘Anak adalah rejeki. Bisa jadi ibu tua pun, Tuhan masih bisa kasih rezeki satu anak lagi’. Dan ini benar-benar barokah yang diberikan Tuhan kepada kami. Anak kami yang ke empat pun lahir. Tuhan mengaruniai kami seorang anak laki-laki lagi dan kami harus mulai memikirkan hal yang dahulu sempat kami takutkan, “Mau dititipkan di mana lagi?” Itu pertanyaan kami.
Sehebat manusia merencanakn Tuhan tetap paling hebat ketika mempunyai rencana. Itulah yang terjadi pada kami. Anak ke empat kami terlahir setelah anak kami yang ke tiga berumur sepuluh tahun. Kami sudah tidak bisa lagi membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang bayi lagi. Tetapi semua telah terjadi pada kami. Dan kami merasa kebahagiaan ini sangatlah luar biasa. Di tengah-tengah anak-anak kami yang mulai tumbuh besar dan sudah bisa mengatur diri masing-masing, artinya mereka sudah dapat melakukan kebutuhan dan keperluannya sendiri-sendiri, tiba-tiba harus hadir di tengah-tengah mereka seorang adik laki-laki mungil yang mereka juga tidak terbayangkan sebelumnya.
Lengkingan tangis bayi dan lenguhan manja suaranya menjadi seperti sesuatu yang aneh di telinga kami. Semua berebut untuk segera menengoknya, menolongnya, dan memperhatikannya. Hal ini sangatlah berbeda dulu ketika rentetan jarak anak ke 1, ke 2, dan ke 3 masing-masing berjarak 4 tahun. Mereka saling belum mengerti posisi masing-masing dan peran mereka sebagai adik dan kakak. Mereka semua berada dalam dunia anak-anak yang belum begitu tahu peran dan hubungan masing-masing. Namun saat ini mereka telah paham apa yang harus dilakukan seorang kakak kepada adiknya. Dahulu mereka belum mengerti apa itu arti memperhatikan dan diperhatikan. Tidak lagi ada perasaan dibedakan bagi anak tengah dan sekarang tidak ada lagi istilah anak tengah. Semua perhatian tertuju pada si kecil yang baru lahir.
Namun kekhawatiran pun kadang muncul dibenakku. Istriku menyadarkanku ketika aku mengungkapkan hal ini kepadanya.
“Hon, lihatlah mereka begitu menyayangi si kecil. Semua berebut untuk memperhatikannya.”
“Iya Mas. Alhamdulillaah. Mereka begitu sayang pada adiknya.”
“Tapi aku sedikit khawatir sama dia. Jangan-jangan dia besarnya tumbuh menjadi anak yang manja. Soalnya, semua orang begitu menyayanginya.”
“Kok Mas Ayo berpikiran begitu, sih?”
“Apakah aku salah kalau berpikir begitu? Wajar saja kan kalau aku khawatir?”
“Wajar sih, tapi Mas Ayo tak perlu cemas begitu. Manja tidaknya seorang anak itu tergantung pada bagaimana kita mendidiknya. Memang sih pengaruh lingkungan akan sangat mempengaruhinya. Tapi pasti akan ada cara untuk mengatasinya. Apalagi kita sudah mengantisipasinya sejak dini.”
“Betul juga Hon. Kita harus memberikan pelatihan khusus pada ketiga kakaknya.”
“Maksud Mas Ayo?”
“Ya, kita mesti beri wawasan kepada mereka supaya tidak memanjakannya. Nanti begitu si kecil sudah mulai mengerti mereka pun harus bantu kita mendidiknya agar si kecil juga jadi anak yang mandiri seperti mereka.”
“Nah, ini dia yang ibu maksud. Pasti ada caranya. Ayah memang benar-benar ayah yang hebat.”
“Hmm, baru tahu ya! Suami siapa dulu?”
“Suami tetangga!” sahut istriku cepat, “Ya suamiku lah!” Kami pun tertawa berderai-derai hingga si kecil terbangun kaget dengan ketawa kami yang menggelegar diantara gerimis yang terus merintik di luar.
”Lah, Mas Ayo sendiri kan anak ke empat, anak terakhir dan laki-laki sendiri lagi. Mas Ayo Manja nggak?
“Enggak! Kalau aku bukan manja, tapi prihatin.” jawabku membela diri.
“Kenapa Mas Ayo nggak manja aja? Kan Mas Ayo anak terakhir, banyak yang menyayangi.”
“Keadaanlah yang mendidikku jadi prihatin.” aku menghela nafas. “Oh ya, terus, yang pertanyaan kita dulu gimana ya jawabannya?”
“Pertanyaan yang mana, Mas?”
“Masa ibu lupa. Yang ‘Mau dititipkan di mana lagi?’”
Sejenak istriku diam. Aku pun diam.
“Jawabannya, sama. Pasti akan ada jalan.”
“Ibu sudah menemukan jalannya?”
“Belum.” jawabnya cepat dan ringan. “Mas Ayo sendiri, sudah menemukan jawabannya?”
“Sudah.”
“Apa itu?”
“Jawabannya, belum menemukan!”
“Please deh, Mas. Tuhan pasti memberikan jalan pada orang yang mau berusaha. Jadi yang terpenting adalah kita harus ikhlas, berdoa, dan berusaha. Pasti semua akan ada jalannya. Kita harus bisa menikmati kebahagiaan ini sambil berusaha untuk mencari solusi setiap permasalahan yang ada bersama-sama. Gitu saja Mas. Just enjoy our live!”
“Baik, Ustadzah. Terimakasih atas wejangannya.” Aku cekikikan sementara istriku melempar popok bekas pipis si kecil. Aku berusaha menghindar tapi gagal. Akhirnya popok pesing itu pun hinggap di hidungku.
0 comments: