Libur lebaran telah usai. Kami sekeluarga kembali ke rumah dengan segala hiruk pikuk aktifitas dan kebiasaan di rumah. Seperti biasa anak ketiga kami kembali melesat bersilaturahmi (main di rumah teman) dengan teman di lingkungan perumahan yang sudah kurang lebih 10 hari ditinggalkan karena mudik liburan. Sedangkan anak kedua kami, karena sudah merasa lebih dewasa, dia cukup bercengkerama di rumah mengobrol dengan kami ayah ibunya dan bermain gadget di sisa waktunya. Anak pertama kami juga sudah ingin melepas kangennya dengan teman dekatnya dan sok sibuk mengadakan acara halal-bihalal dengan teman angkatan SMAnya, sehingga jarang di rumah. Karena masih ada sisa waktu libur sebelum masuk kerja, kami menyibukkan diri dengan kerjabakti beres-beres rumah dan mengurus si kecil, anak keempat kami yang baru tiga bulan. Lebaran tahun ini sungguh berbeda karena kami telah kedatangan anggota keluarga baru kami, Ahlan. Kehadirannya sungguh telah mewarnai keluarga kami sehingga kebahagiaan yang Tuhan berikan kepada kami sangatlah kami syukuri.
Di suatu perbincangan kami di ruang biasa, tiba-tiba anak kedua kami, Syawa bertanya, “Yah, apa ayah nggak kangen sama ibunya ayah?”
Pertanyaan itu mengingatkanku ke wajah ibuku yang sudah banyak keriputnya walaupun garis-garis kecantikan di wajahnya masih terlihat. Jalannya pun tak setegak dulu karena lututnya sering mengidap rheumatic. Secara keseluruhan dia tergolong wanita tua yang sehat kalau dibandingkan dengan bapakku yang sudah sering masuk rumah sakit.
”Kangen? Kemarin kan sudah ketemu. Ya, kangen sih setiap saat kangen. Kenapa Syawa tanya begitu?” aku balik bertanya.
“Kalau Syawa, Syawa gak mau pisahan sama orang tua, rasanya gimana gitu. Kayaknya bakal sedih banget harus berpisah sama orang tua.”
“Itu kan karena Syawa masih anak-anak. Nanti kalau sudah dewasa juga pasati ada saatnya harus berpisah sama orang tua. Nanti, Syawa bersuami, punya anak-anak sendiri, punya rumah sendiri, punya keluarga sendiri. Itu sudah menjadi hukum alam yang harus dialami semua orang yang telah dewasa. Kangennya orang dewasa itu beda dengan kangennya anak-anak. Kamu nanti pasti akan mengalami hal yang sama,”
“Tapi kalau Syawa sudah besar, Syawa tetap mau sama ayah sama ibu. Pokoknya Syawa gak mau berpisah sama ayah ibu.”
Mendengar begitu aku langsung merengkuh kepalanya dan mengusapnya. Aku sungguh terharu dan tersanjung atas kepolosan dan ketulusan ungkapan perasaan seorang anak kepada orang tuannya. Sungguh aku merasa sangat beruntung punya anak seperti dia. Dia begitu halus perasaannya dan penyayang. Dan seketika itu, aku jadi teringat ungkapanku semasa kecil sama ibuku dulu yang hampir sama yang telah disampaikan Syawa tadi.
“Syawa, kata-katamu tadi mengingatkan ayah sewaktu kecil dulu. Dulu ayah pernah bilang sama ibunya ayah, kalau ayah nanti dewasa akan tetap tidur sama ibu walaupun sudah punya istri, pokoknya tetap tidur sama ibu! Ibu pun memelukku karena terharu. Tapi dia dulu juga tidak percaya dengan ungkapan ayah dulu. Dan faktanya memang ayah benar-benar tidak tidur sama ibu kan! Ayah lebih memilih keluarga sendiri dan harus berpisah sama ibu. Jangankan tidur sama ibu, berkunjung saja masih bisa dihitung dengan jari. Tapi memang keadaanlah yang membuat hubungan anak dan orang tua menjadi berpisah dan tidak selamanya kumpul. Tapi bukan berarti ayah tidak menyayangi ibunya ayah lagi, lho. Banyak cara untuk tetap menyayangi orang tua.”
“Tapi Syawa tetap mau sama ayah- ibu.”
“OK, sayang. Terimakasih ya. Kamu memang luar biasa. Ayah ibu juga maunya sih, selalu bersama kalian. Tapi ya kita lihat saja nanti. Yang terpenting kita tetap harus saling menyayangi walaupun mungkin nanti jarak yang akan memisahkan kita. OK!”
Anakku hanya tersenyum dan menerawang memandangi atap rumah yang belum dicat terhanyut dengan lamunannya sendiri. From Home With Love#2
0 comments: