Sore yang cukup panas dan melelahkan tak membuat istriku berdiam diri di rumah. Tak mau merepotkan aku, dia langsung pergi mengajak anak keduaku untuk belanja berbagai keperluan dapur. Anakku senang diajak belanja di supermarket. Bagi sang istri, belanja di supermarket tidak begitu memuaskan sebenarnya, dia akan lebih puas kalau sudah melewati lorong-lorong becek dan sesak di pasar traditional. Makanya dia akan berfikir dua kali kalau mau mengajakku ke pasar. Karena aku akan banyak mengeluh ini dan itu.
Setelah pilih memilih dan timbang menimbang, akhirnya belanja dianggap cukup. Anak perempuànouku terus mendpingi sang ibu belanja. Hingga suatu ketika ada kejadian yang menurutnya kurang baik untuk dilakukan.
Saat itu sang ibu sudah menimbang abon curah dan tinggal dibayar di kasir. Sambil menuju ke kasir, Ibu mulai berubah pikiran. Dasar ibu-ibu sukanya ga konsisten, pikirku ketika mendengar ceritanya.
"Ibu, kenapa abonnya ga jadi dibeli?" Tanya anakku heran.
"Ternyata mahal Kak, Ibu pikir tak semahal itu." Ibu menjelaskan alasanya.
"Ibu nggak boleh begitu. Itu kan abon curah, sudah ditimbang ya sebaiknya harus dibeli," anakku mengingatkan.
" Tapi kan tadi Ibu sudah bilang, kemahalan. Lain kali saja. Pasti ibu beli deh."
" Bukan begitu ibu. Itu namanya ibu tidak menghargai Ibu sendiri dan pelayan toko tadi sudah susah-susah bantuin nimbang, belum nanti kalau ibu ga jadi beli, pelayan itu harus mengembalikan ke tempat semula. Gara-gara ibu ga jadi beli, banyak orang direpotkan," anakku membujuk sang Ibu.
"Terus, ibu harus bagaimana? Kalau uangnya ternyata ga cukup bagaimana?
" Ibu bisa bilang terus terang kalau uangnya ga cukup. " Sang ibu mulai kebingungan.
"Ya sekarang ibu bawa saja ke kasir. Nanti totalnya berapa. Mudah-mudahan cukup. Lagian kan Ibu beli abon ini untuk anak anak Ibu. Mahal dikit untuk anak kan gapapa . Ya nggak Bu? Dan tidak mengorbankan orang lain. From Home with Love #2
0 comments: