Minggu, 16 Oktober 2022

Unique Creatures!


Cleaning your house while your kids are still growing is like shoveling the sidewalk before it stops snowing_Phyllis Diller

Bagi orang tua, anak-anak adalah mahluk unik yang pernah ada dalam hidupnya. Saat sebuah pasangan muda dan belum memiliki anak, kehadiran seorang bayi mungil sangat dinantikan sebagai pelengkap ikatan pernikahan dan juga harapan orang tua sebagai penerus kehidupannya. Maka kehadiran seorang anak sungguh sangat dinantikan.

Begitu si anak lahir, kebahagiann sebuah keluarga lengkaplah sudah. Apa pun akan diusahakan demi memenuhi kebutuhan anak. Orang tua rela membanting tulang demi untuk membesarkan si kecil hingga menjadi manusia dewasa dan berguna.

Banyak peristiwa yang terjadi pada setiap masa pertumbuhan anak-anak. Orang tua banyak tersita waktu, tenaga, dan pikiran untuk mahluk unik ini. Kehadirannya, sangat mewarnai sebuah keluarga. Jika mungkin, anak tidak boleh kelaparan, tidak boleh sakit, tidak boleh bodoh, tidak boleh menderita, dan masih banyak lagi.

Ketika anak sudah mulai berpolah, orang tua sering kewalahan. Rumah menjadi berantakan, anak lebih suka bermain, dan mulai banyak permintaan. Anak maunya yang praktis dan enak. Anak lebih suka ngambek jika dinasihati. Anak suka berisik dan masih banyak lagi yang membuat orang tua gemas. Kemarahan orang tua pun sering tak terhindarkan hingga terkadang keluarlah kata-kata yang tidak pantas untuk anak.

Tetapi begitulah anak-anak. Mereka bagaikan goresan cat air yang mampu mewarnai kanvas putih sebuah keluarga. Ketika melihat goresan warna cat air dari dekat, maka gambar seperti tidak jelas bentuknya, tatapi ketika dilihat dari kejauhan, maka keindahan lukisan cat air akan lebih memiliki seni keindahan tersendiri. Ketika anak-anak berada di rumah dengan berbagai perilaku dan problematikanya, serasa beban orang tua begitu berat namun begitu mereka sudah satu persatu menjauh maka terasa betapa indahnya sewaktu masih berkumpul bersama anak-anak. Yang ada hanyalah kesepian yang menyelimuti hari-hari orang tua di masa tuanya. 

Start talking!

Speak to your children as if they are the wisest, kindest, most beautiful and magical humans on earth, for what they believe is what they will become.” _ Brooke Hampton

 


Mungkin anda pernah menjumpai pembicaraan seperti ini. “Anak saya tuh yang pertama persis seperti bapaknya, diem, ga banyak bicara. Kalau ditanya saja baru njawab. Tapi dia tuh pinter kaya aku, ibunya.” Mungkin ini adalah salah satu contoh random talk yang pernah kita jumpai pada setiap pertemuan antar ibu-ibu.

Ada pendapat bahwa anak tidak pandai berkomunikasi karena memang sudah wataknya, keturunan bapaknya, atau sudah bawaan sejak lahir. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keterampilan berkomunikasi itu bisa dilatih.

Bahkan ada mitos yang sering saya dengar bahwa sering-seringlah mengajak berbicara si kecil semasa masih di kandungan ibunya agar ketika lahir nanti si bayi bisa langsung berbicara, tentunya bukan, agar si anak besar nanti memiliki ketermapilan komunikasi yang baik. Tidak perlu diperdebatkan bahwa mitos ini bisa dibuktikan atau tidak. Tentunya ini adalah upaya besar dari orang tua untuk dapat memiliki anak yang bisa berkomunikasi dengan baik.

Ironisnya, orang tua selalu berjuang keras untuk melatih anaknya berbicara sejak mereka masih bayi. Tetapi jangan heran kalau anak menjadi besar dan sudah lancar berbicara, orang tua sering tidak mengajaknya berbicara. Banyak anak remaja menjelang dewasa yang bilang, “ Saya ngga punya teman ngobrol di rumah. Ayah ibu sibuk.”

Nah, kalau sudah begini, jangan salahkan si anak kalau anak kita itu pendiam, tidak punya inisiatif untuk berbicara, tidak percaya diri untuk memberikan pendapat dan semacamnya. Sepertinya ada yang salah sama kita para orang tua. Di saat anak tumbuh dewasa dan membutuhkan banyak perhatian dalam bentuk obrolan, kita orang tua lupa akan tugas kitauntuk sedikitnya mengajak mereka berbicara.

Baiklah, lets bygone be bygone. Kita tidak perlu meratapi yang sudah terjadi. Sekarang sering-seringlah mengajak bicara anak dengan tema apapun. Ada yang bilang, canggung mengajak bicara sama anak-anak. Atau ada yang kita saja yang ingin didengarkan tanpa mau mendengarkan mereka berbicara. Woi! Mereka anak anak kita lho. Siapa lagi kalau bukan kita yang peduli? Marilah kita perbaiki. 

Let them choose!


 

“The greatest gifts you can give your children are the roots of responsibility and the wings of independence.”   — Denis Waitley, motivational speaker

 

Mungkin anda pernah mendengar kisah nyata ini. Seorang anak dengan bangganya menyelesaikan pendidikan kedokteran dan menyerahkan ijazah kebanggaan orang tuanya sambil berkata, “Pak, sebagai seorang anak, saya sudah selesai menunaikan tugasnya, menyelesaikan pendidikan kedokteran. Ini ijazah yang engkau inginkan. Tapi maaf, saya akan meneruskan bisnis saya,”

Bagaimana menurut anda dengan kisah ini? Ini merupakan perolehan luar biasa dari the power of parent’s ego. Hasil dari keangkuhan orang tua yang tidak memberikan kesempatan anaknya untuk memilih apapun dalam hidupnya.

Dalam perkembangannya, anak-anak perlu dibawa pada suasana merdeka berpendapat dan belajar memutuskan sedini mungkin terhadap pilihan-pilihan dalam kehidupannya sesuai usia dan kapasitasnya. Dengan begitu, mereka merasa diberikan kepercayaan dan tentunya akan  mempertanggungjawabkan hasil atas pilihannya.

Tugas orang tua memberikan arahan dan pandangan sesuai kemampuan dan pengalamannya. Yang terpenting adalah menahan egonya dalam urusan pilihan anaknya karena merekalah yang akan menjalaninya.

Sejak dini anak harus dibiasakan untuk menentukan pilihan. Walaupun pilihan anak itu terlihat aneh atau tidak sesuai dengan pilihan kita, biarkan mereka mencoba membuat keputusan atas pilihannya.

Ketika masih balita, mereka akan lebih suka untuk memilih mainan yang diinginkan. Orang tua harus berusaha untuk menahan egonya untuk menentukan mainan terbaik buat anak. Bagus atau mahal belum tentu disukai anak-anak. Sebagai ayah, saya membiarkan anak memilih sesuai seleranya dan dengan standar harga sesuai budget tentunya.

Setelah anak-anak menginjak remaja atau dewasa, kami selalu berdiskusi untuk pemilihan sekolah atau jurusan di universitas. Anak-anak dibiarkan untuk berpendapat atas pilihannya, hingga pada akhirnya jatuhlah sebuah keputusan. Ada kalanya anak merasa bimbang akan beberapa pilihan. Biasanya kami memberi waktu untuk berfikir dan jika mereka membutuhkan, kami memberikan masukan-masukan yang mungkin dapat membantu memantapkan pilihannya. 

Share it, not show it!

 You can’t live a perfect day without doing something for someone who will never be able to repay you.

~John Wooden


 Ketika anak sudah memasuki usia remaja, atau menjelang dewasa, pertemanan menjadi hal yang penting bahkan krusial. Tidak semua anak pandai cari teman. Untuk bisa menjadi seorang teman baik tidaklah cukup hanya pandai berbicara dan punya materi, tetapi teman yang bisa saling mengerti, saling mengisi dan saling membantu.

Keadaan inilah yang sering menjadi masalah bagi beberapa anak untuk menjalin pertemanan di usia remaja. Kalau anak kita tidak pandai bergaul dia setidaknya memiliki sesuatu yang memungkinkan bisa menjadi modal dalam pertemanan. Dan ketika modal itu sudah dimiliki, si anak harus tahu cara menggunakannya.

Teman baik biasanya akan mengukur temannya dengan apa yang bisa mereka berikan. Sebagai ayah, setidaknya aku pernah berpesan seperti ini, ‘Nak, jika kamu punya sedikit kemampuan, jangan pamerkan di hadapan mereka, tetapi ajarkan yang sedikit itu pada temanmu. Dan kamu akan lebih berarti buat mereka.’

Dan saya berpikir bahwa menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya di usia remaja itu perlu, tetapi kualitas teman dan pertemanannya itu lah yang lebih penting. Wdyt? 

Just Listen!

 

“Don't think or judge, just listen.”
― Sarah Dessen

 


Ketika dicurhatin sama anak-anak di rumah, apa yang biasanya saya lakukan? Kalau tidak terpancing emosi anak, kita akan sok tahu akan perasaan anak. Atau kita jadi gemes sama anak kita dan endingnya adalah menasehati, memberi solusi, dan yang paling parah adalah ‘memarahi’.

Di sinilah kadang kita gagal menjadi teman curhat anak dan alhasil, anak bingung mau sharing sama siapa, atau lebih memilih diam dan memendam permasalahan. Jadi ketika menjumpai anak diam dan tidak mau diajak bicara sama orang tua, maka kita mesti tanya pada diri sendiri, ‘Apakah kita belum bisa menjadi teman curhat yang baik bagi anak kita?’

Kadang orang tua merasa lebih tahu akan segala urusan termasuk urusan anak-anak karena merasa pernah mengalami jadi anak. Atau kadang orang tua merasa lebih memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi banyak permasalahan hidup. Disinilah kita biasanya menjadi orang paling pintar dan gampang menilai dan menghakimi. Kematangan anak dalam menghadapi masalah tentu tidak sama dengan orang dewasa. Kita lupa bahwa permasalahan anak-anak jaman sekarang seolah sama dengan permasalahan jaman kita dulu. Padahal beda jaman akan beda problemnya.

Nah, karena begitu gemasnya terhadap curhatan si anak, tanpa diminta, kita akan mengeluarkan pendapat, solusi, penilaian, dan nasihat. Yang saat itu, mungkin anak belum membutuhkannya. Yang dia butuhkan saat itu hanyalah didengarkan, bukan dinasihati.

Kita perlu menahan diri sejenak, hingga anak sudah siap untuk diberikan masukan. Memang maksud kita baik, ingin menenangkan anak, tetapi kadang yang terjadi sebaliknya. Anak merasa disalahkan atau muncul masalah baru dengan solusi yang diberikan. Lalu apa sikap kita biar anak bisa tenang? Kita cukup dengarkan, lalu bisa kasih pelukan atau sentuhan kasih sayang padanya. Setelah isi dadanya sudah tertumpahkan semua, biasanya anak akan merasa lega. Kita bisa meminta ijin sama anak dengan bertanya, ‘Apakah ayah atau ibu bisa kasih pendapat?’ Kalau anak sudah Ok, baru kita masuk untuk memberi pemikiran kita. Wah, rumit ya jadi ortu!

Children's Imagination

 “The imagination is the golden pathway to everywhere.”

- Terence McKenna

 

Dunia imajinasi anak memang tanpa batas. Apa saja yang dilihatnya akan menjadikan inspirasinya. Kalau bisa dia menjadi seperti idolanya. Normalnya, anak-anak akan berperilaku seperti apapun yang dilihatnya. Children see children do.

Sebagian orang tua akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Bahkan tidak sedikit orang tua yang mengikuti trend anaknya yang sedang bertumbuh itu. Mereka rela untuk mengeluarkan kocek cukup banyak untuk keperluan ini. Kalau bukan mereka ingin membuat anaknya bertumbuh kembang sesuai usianya, bisa jadi karena di masa kecilnya dulu, keinginan mereka tidak terpenuhi, dan akan memenuhinya ketika memiliki anaknya sendiri. Namun ada juga yang khawatir terhadap anaknya yang setiap harinya hanya berimajinasi dan sulit untuk mulai belajar.

Orang tua tidak perlu khawatir dengan imajinasi anak-anak yang kadang tampak berlebihan. Seperti dikutip dari sebuah blog discoverybuildingset.com  bahwa imagination is the capability to create in one's own mind what does not exist. The imagination comes first and is necessary for creativity but not the other way around. Menurutnya, Sumber kreatifitas anak berasal dari imajinasinya.

Sebagai seorang ayah, saya tidak mengkhawatirkan si kecil untuk berekpresi dalam imajinasinya selama itu tidak membahayakan dirinya dan mugkin juga temannya.

Dan saya tidak perlu buru-buru mengajarkan dia pada hal-hal rumit seperti belajar calistung di usianya yang masih lima tahun. Biarkan dia enjoy dengan main perang-perangan, atau melakukan role play apapun. Karena hal ini lah yang menurut saya yang akan membuatnya menjadi anak kreatif.

Saya membiarkan anak-anak bermain secara total. Anak-anak perlu menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan tuntas. Saya tidak mau terlalu dini mengajarkan hal-hal yang rumit seperti hitungan, hafalan, maupun kemampuan-kemampuan lain terlalu dini. Karena saya meyakini, ketika dia sudah puas dengan masa kanak-kanaknya dan sesuai porsinya, maka ketika memasuki usia dewasa, dia akan mendapatkan yang dia butuhkan. Termasuk menentukan cita-citanya sendiri.

Be Wise!



 Setiap orang tua pasti pernah mengalami berbagai peristiwa manakala mereka masih anak-anak. Masa anak-anak dari setiap orang tua tentunya sangat beragam; dari masa kecil yang bahagia, serba kecukupan dan mendapatkan pendidikan yang baik atau sewajarnya. Namun ada beberapa orang tua yang mengalami masa kecil pahit dan bahkan mungkin menyakitkan dari treatment orang tua mereka.

Hal tersebut dimungkinkan juga tergantung pada background orang tua masing-masing. Ada yang secara ekonomi mapan dan memiliki berpendidikan baik. Ada pula orang tua yang memiliki kondisi ekonomi dan latar belakang pendidikan rendah.

Lalu apakah background tersebut berpengaruh terhadap cara mendidik mereka terhadap pendidikan anak-anaknya?

Sekurang-kurangnya ada dua tipe orang tua yang menidik anaknya berdasarkan pengalaman masa kecilnya: tipe pertama yaitu bagi mereka yang mendapatkan pendidikan keras dari orang tua, mereka pun akan menerapkan pendidikan yang sama terhadap anak-anaknya di jaman sekarang. Padahal orang tua tersebut saat ini berbeda dengan orang tuanya dulu. Sekarang orang tua tersebut bisa dikatakan lebih mapan secara ekonomi dan berpendidikan lumayan.

Namun sebaliknya, beberapa orang tua menerapkan pendidikan pada anak-anaknya di jaman sekarang dengan pola berbeda dengan apa yang mereka dapatkan di masa lalu. Berpedoman dari perihnya masa lalu, mereka berkomitmen untuk memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sudah dialaminya di masa lalu. Merke ingin agar pengalaman pahit tersebut tidak terjadi lagi pada anak-anaknya.  Tipe orang tua seperti ini akan menganggap pengalaman buruk di masa lalu sebagai sarana pembelajaran untuk menjadi orang tua yang baik buat anak-anaknya. Mereka mampu memilih pola pendidikan yan yang bisa diterima oleh generasi anak sesuai jamannya.

Baik buruknya pengalaman orang tua di masa lalu akan lebih bijak jika dijadikan sebagai sarana pembelajaran dan pengambilan keputusan bagi para pribadi orang tua dalam mendidik anak-anaknya di jaman yang sudah berbeda dengan masa lalunya ini. 

Too Much Worry

 “We worry about what a child will become tomorrow, yet we forget that he is someone today.”   — Stacia Tauscher, dancer and artist

Sebagai orang tua, pasti kita sering merasa cemas terhadap masa depan anak-anak kita. Perasaan khawatir mungkin akan terjadi pada siapapun dan itu adalah hal yang sangat wajar. Orang tua menjadi over thinking ketika melihat ada gejala yang tidak wajar yang terjadi pada anak-anak kita

Kebanyakan orang tua mengharapkan hal-hal psoitif pada anak-anaknya seperti memiliki prestasi akademik yang baik di sekolah, memiliki kreativitas tinggi, banyak ide, dan tentunya memiliki karakter yang baik. Namun ada kalanya hal itu terjadi sebaliknya. Sudah pasti orang tua akan berpikir untuk dapat menyelamatkan anak-anaknya dengan melakukan banyak hal.

Orang tua boleh cemas atau khawatir asal tidak berlebihan. Setiap anak memiliki bakat dan kemampuan masing-masing. Kadang mereka tak tampak memiliki kelebihan apa pun di mata orang tua. Jangan-jangan justru kita lah yang telah mematikan kemampuan mereka.

Mungkin secara tidak sadar kita sering berucap: ‘Ah, kamu nyapu lantai saja ga bisa!’ ‘Ah kamu males banget sih jadi anak!’ ‘Masa, cuma ngerjain soal gampang seperti ini saja ga bisa?’ ‘Kamu sih bisanya apa?’ Kalau ungkapan-ungkapan ini yang pernah kita berikan ke anak-anak, ya itulah yang ada di pikiran anak-anak kita. Secara tidak langsung, kita sudah menanamkan kata ‘TIDAK MAMPU’ di otak mereka. Dan itu toxic yang akan berkembang.

Ketika kita hanya mengenali apa yang kita inginkan buat anak kita, semakin banyak hal yang tidak kita kenali dari mereka. Yang akan tercipta justru mereka jadi less creative dan malas untuk berjuang. Salah satu penyebabnya yaitu karena mereka sudah tahu akan jwabannya dari setiap usaha mereka; dicaci, disalahkan, dan dimarahi. Kasihan kan?

Jadi sesungguhnya, beberapa fakta kekhawatiran kita tentang masa depan mereka, mungkin malah kita sendiri yang menciptakannya. Kita yang salah menanam benih ke ladang otak anak kita. Coba kita sama-sama buka catatan lama kita!

A Short Quality Time


“The best inheritance a parent can give his children is a few minutes of his time each day.” – Orlando Aloysius Battista


Tidak jaminan bagi orang tua yang punya banyak waktu luang di rumah akan memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Memang semestinya dengan durasi waktu cukup akan memberikan banyak kesempatan untuk dapat memberikan perhatian lebih pada mereka. Namun jika waktu tidak dikelola dengan baik, dan tidak tahu poin-poin penting yang seharusnya diberikan, yang ada hanyalah kelelahan dengan dalih; sudah melakukan banyak hal termasuk pekerjaan rumah, ngurus anak, dan ini itu. Padahal yang dilakukan tidak lebih dari nyuekin anak sambil main HP, marah-marah tanpa sebab, ngomel-ngomel sambil mengeluh capek.

Bagi ortu yang super sibuk, apalagi yang ayah ibu sama-sama pekerja, tidak perlu panik karena tidak punya banyak waktu untuk mereka. Mereka tidak menuntut durasi waktu panjang untuk diperhatikan. Sebentar saja bermain bareng, sepuluh menit saja mengajak anak ngobrol, lima belas menit saja mengajak anak untuk dimintain idenya, itu akan sangat berarti buat mereka. Mereka akan merasa punya kawan bermain. Mereka akan merasa ada dan dibutuhkan. Mereka akan merasa punya teman curhat. Mereka akan merasa penting dan punya sesuatu yang orang lain butuhkan. Mereka akan merasa nyaman berada di rumah sendiri.

Jadi, kesibukan bukan alasan bagi para orang tua untuk tidak memberikan hal terbaik buat anak-anaknya. Sebaliknya, yang punya banyak waktu di rumah, jangan merasa sudah memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Coba buka lagi catatan hariannya, apakah benar sudah memberikan poin-poin penting yang dibutuhkan anak?