Selasa, 25 Mei 2021

My Quotes : Kesuksesan



 "Meraih kesuksesan seperti meniti anak tangga yang harus dilalui satu persatu dan kadang berhenti untuk menghela nafas dan membiarkan orang lain lewat terlebih dahulu hingga akhirnya mencapai puncaknya"

#AISEIWritingClub
#Katamutiaraku
#Day9WritingChallenge

Sabtu, 22 Mei 2021

Problema Anak Tengah, Middle Child Syndrome


“Children are our most valuable resource.” – Herbert Hoover

Kali ini aku akan mencoba sedikit bercerita khusus tentang anak-anakku, khususnya anak keduaku. Bukan karena dia begitu spesial bagiku karena semua anak-anakku memang sangat spesial. Banyak hal yang membuat kami terus belajar dari setiap kejadian dalam mendidik dan membesarkan mereka. 

Suatu pagi, sewaktu aku sedang rapat verifikasi soal via zoom, tiba-tiba anak keduaku keluar dari kamarnya dengan muka seperti ketakutan dan mengeluh sesak nafas. Lansung saya off camera dan meminta dia duduk di kursi di depanku. Dengan sigap aku mencari semacam minyak telon atau kayuputih untuk sekedar dioleskan di telapak tangannya atau pun kakinya sambil dipijit-pijit. Yang dia butuhkan adalah ketenangan, kenyamanan, bahkan sentuhan sehingga ketika dioleskan minyak tersebut dia akan merasakan sentuhan yang memberikan ketenangan. Aku hafal betul dengan kondisi anakku karena kejadian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi.  Aku ajak dia senyum sambil mengelus tangannya dengan minyak  dan aku suruh dia duduk tegak dan sedikit-sedikit tarik nafas. 

Perlahan-lahan aku masuk ke alam pikirannya dengan memberikan bisikan kata yang menenangkan di dekat telinganya bahwa semua akan baik-baik saja. Semua orang punya masalah dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. 

Selama ini dia sering merasa bahwa dia mempunyai banyak masalah, selalu menjadi beban keluarga dan memiliki sifat lebih jelek dibandingkan saudara-saudaranya. Tetapi aku selalu menjelaskan padanya bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masing, begitu pula kelemahannya. Aku bilang bahwa dari keempat-empatnya anakku tidak ada yang terlahir dengan sifat dan karakter yang jelek saja maupun baik saja. Semua anak dilahirkan dengan berbagai karakter yang diturunkan dari kedua orang tuanya dan bahkan mungkin membawa sifat kakek dan neneknya. Jadi sudah dipastikan masing-masing anak memiliki kelebihan dan kekurangan sama seperti karakter manusia pada umumnya.

Selain dari sudut genetika, ada juga karakter yang dibentuk dari pendidikan orang tua dan lingkungan di mana dia berada dan bersosialisasi. Pengaruh lain juga dari kondisi sosial ekonomi orang tua saat dilahirkan dari anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang berbeda-beda. Sebagai latar belakang keluargaku yang dari merangkak hingga jongkok lalu berdiri, tetunya membawa pengaruh penting bagi setiap anak yang dilahirkan. Karena hampir bisa dipastikan bahwa setiap kelahiran anak-anakku memiliki background kondisi yang berbeda-beda. 

Anak pertamaku yang lahir di saat jaman krisis moneter di tahun 1998 dengan kondisi ekonomi keluargaku yang saat itu juga tidak menentu, tentunya kondisi ini yang memprihatinkan dan banyak sekali keterbatasan. Namun sebagai anak pertama laki-laki yang terlahir sangatlah ingin memberikan yang terbaik bagi anak pertama ini. Walaupun mungkin segala kebutuhan tidaklah bisa terpenuhi, tapi kami sebagai orang tua mengingnkan anak ini untuk mendapatkan sesuatunya sesuai kebutuhanya. 

Berbeda dengan anak kedua, yang kebetulan perempuan. Anak kedua kami lahir selang 4 tahun dari kelahiran kakaknya. Hadirnya bayi perempuan di keluarga kami menjadi pelengkap kebahagiaan setelah anak pertama terlahir laki-laki. Seandainya anak kami cuma dua, maka lengkaplah dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Begitu pula kondisi ekonomi keluarga juga sudah meningkat setapak lebih baik dari kelahiran anak pertama. Walaupun tidak semua kebutuhan dapat terpenuhi, namun setidaknya sudah lebih baik pada kondisi anak kedua ini lahir. Hal ini tentunya banyak faktor yang membentuk karakternya pula.

Tetapi permasalahan lain muncul ketika empat tahun kemudian lahirlah anak kami yang ketiga, dan perempuan. Anak kedua kami yang berumur empat tahun harus mempunyai seorang adik perempuan. Hal ini bisa menjadikan sebuah kebaikan buat sang kakak, namun juga bisa sebaliknya. Baiknya, ketika si adik bisa menjadi teman bermain yang satu gender dengan kakanya. Mereka bisa bermain bersama dengan mainan yang sama. Atau mereka bisa bermain peran dalam permainannya dengan menggunakan pakaian perempuan dalam sebuah drama-dramaan anak-anak. Namun ketika mereka sedang tidak bisa bermain bersama, justru persamaan gender dengan usia yang berbeda juga bisa menimbulkan masalah baru. Persaingan dalam hal mainan, pakaian, perhatian pada orang tua dan tentunya sang kakak akan merasa tersisih dalam hal perhatian. Ketika suatu saat sang adik dibelikan mainan baru atau pakaian baru sedang sang kakak tidak, malapetaka bisa terjadi. Kalaupun kami berdalih bahwa, 'dulu waktu kamu kecil, kamu juga dibelikan mainan yang sama, atau pakaian yang sama seperti adikmu,' tapi tentunya dia sudah lupa dan tidak mau mengerti. Menurutnya, kita sebagai orang tua telah berlaku membeda-bedakan. Mungkin itu yang dinamakan middle child syndrome.

Menurut artikel yang saya baca dari https://id.theasianparent.com/middle-child-syndrome  bahwa anak tengah akan mengalami middle child syndrome karena orang tua lebih memperhatikan anak sulung dan memanjakan anak bungsu. Sebagai pelampiasan dari rasa diabaikan tersebut, anak tengah akan memiliki kecenderungan untuk berulah. Membaca ini, aku lantas berfikir apakah kami sebagai orang tua sudah memperlakukan anak kedua kami tersebut seperti itu? Kami mencoba merefleksikan diri apa yang sudah kami lakukan selama ini. Sebagai orang tua, kami merasa sudah semaksimal mungkin berlaku adil pada anak-anak dan sesuai porsinya. Tidak ada yang dilebih-lebihkan baik anak sulung, anak kedua, ataupun anak bungsu. Tapi itulah yang terjadi seperti yang disampaikan oleh artikel itu, mungkin secara tidak sadar, kami melakukan itu, lebih memperhatikan si sulung dan memanjakan si bungsu, walaupun itu terdengar terlalu kasar. 

Kemabali ke anak keduaku, yang sementara kami sebut sebagai anak tengah, karena anak keempat lahir setelah anak ketiga kami berumur 10 tahun. Jadi bisa dikatakan, karakter anak kedua kami menjadi anak tengah sudah terbentuk sebelum si anak keempat kami lahir.

Kalau berkaca pada artikel di atas, ada hal yang menghawatirkan yang menyelinap di dadaku. Apakah betul nantinya anak kami tersebut akan benar-benar berulah? Tetapi saya paham betul perkembangan anakku. Justru dari sifatnya yang memiliki kepekaan lebih itulah terlihat ada hal-hal positif yang muncul. Dia cenderung ingin memperhatikan lebih pada orang lain dibandingkan pada dirinya sendiri. Untuk itu dia sebenarnya memiliki keistitimewaan yang bisa dijadikan bekal di masa mendatang. Kami harus optimis dengan keadaan anak tersebut. 

Dalam perilaku yang dapat diamati setiap hari, dia sering tidak tega melihat orang lain menderita termasuk terhadap binatang sekali pun. Hal inilah yang justru menjadi strength buat dia. Walalupun kepekaannya yang berlebih kadang membuatnya kurang mempedulikan dirinya sendiri dan sering menjadi gelisah hingga menangis. Di situlah tantangan kami untuk bisa membesarkan hatinya dan tetap optimis menghadapi masa depannya.  

Hanya dibutuhkan kelembutan dan ungkapan-ungkapan positif yang membukakan pikiran sehingga dia akan semakin membaik. Mungkin sedikit keterbukaan bahwa pada saat tertentu dia merasa resah dan gelisah yang kadang tidak jelas apa penyebabnya. Bahkan suasana sendu dari sebuah alunan musik pun bisa membuatnya menangis tanpa sebab. Hal itu sering diungkapkannya dan kami orang tua cukup tahu saja kalau dia sedang mengalami seperti itu. 

Begitu banyak peristiwa yang terjadi selama mendidik anak-anak sendiri di rumah. Semua orang tua atau pun keluarga pasti pernah mengalaminya dan tentunya dengan kisah problema yang berbeda. Tetapi tentunya kita bisa belajar dari semua peristiwa dan keistimewaan-keistimewaan yang ada pada anak-anak kita. Karakter yang tampak pada anak-anak kita merupakan sebagian besar olahan dan ramuan kita dalam mendidiknya sejak kecil. ayosugiryo.blogspot.com

 #FromHomeWithLove




 

Menjadi Guru : Cita-cita, Kebetulan, atau Panggilan?



Menjadi guru! 

Mengapa aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Aku pun tak tahu alasannya waktu itu ketika kelas VI SD di tahun 1986 aku ditanya guruku tentang cita-citaku. Aku seperti asal menjawab dan memang saat itu aku belum tahu tentang apa itu cita-cita dan akan menjadi apa nanti saat dewasa aku pun tak tahu.

Walaupun tampak samar, mungkin inilah alasannya. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi presiden, pilot, dokter, polisi atau yang lainnya seperti jawaban teman-temanku.

Yang aku tahu waktu i
tu guru bisa mengajari aku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, berbicara sopan, masuk kelas tepat waktu, berbuat jujur dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga.

Walupun berjalan sangat lambat dan tanpa disangka-sangka perjalanan hidupku rupanya membawaku hingga menjadi guru. Dari lulus SD di tahun 1986, masuk SMP dan lulus tahun 1989, istirahat satu tahun baru masuk SMA dan lulus tahun 1993, dan setelah pontang-panting selama delapan tahun hingga menikah dan punya anak satu baru berksempatan melanjutkan S1 di tahun 2001 dan lulus tahun 2005. Mulai tahun inilah aku menjadi guru honorer di sekolah negeri. Dari sinilah karirku menjadi guru dimulai. 
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku untuk meniti karir menjadi guru. Selama waktu itu pula aku masih bangga menyandang status guru honorer di sebuah SMA Negeri. Sedangkan umurku waktu itu sudah hampir mendekati 40 tahun atau orang sering menyebutnya sudah kepala empat.
Banyak hal yang sering menggelayut indah di pikiranku. Tiga anak-anaku sudah semakin besar dan tentunya biaya pendidikan yang besar tidak dapat dielakan lagi. Waktu itu anak terbesarku sudah masuk SMA, sedangkan 2 adiknya masih di SD.
Pernah aku membaca pepatah bahwa “Life begins at forty”. Pepatah ini terus menggelitik di telingaku dan menghantuiku. Karena aku sadar di usiaku itu karirku masih bisa dibilang sangatlah belum mapan. Tidak perlu dijelaskan berapa gaji guru honorer, semua sudah bisa menebaknya. Aku hanya murni menjadi guru dan kebutuhan semakin menghimpit.
Kegundahanku semakin terasa menyesak dada hingga akupun akhirnya tidak sanggup menahan perasaan ini sendirian. Seorang yang paling bisa mengerti akupun kuajak bicara dan rupanya dia dapat mengerti perasaanku. Apakah aku harus selamanya menjadi guru honorer di sekolah negeri hingga pensiun, sementara umurku sudah hampir empatpuluh tahun dan masa untuk bisa menjadi guru PNS sudah tidak ada kesempatan lagi? Memang istriku tidak pernah menuntutku untuk menjadi PNS tetapi aku sendiri merasa sebagai seorang sarjana pendidikan setidaknya bisa memiliki penghasilan lebih sesuai ijazahku dibandingkan jika hanya menjadi guru honorer. .
Kami berdua membicarakan hal ini hingga larut malam. Pembicaraanpun semakin mendalam dan kamipun larut dalam pembicaraan masa lalu yang masih terkenang-kenang.
Istriku mengingatkan masa dulu pertama kali bertemu. Aku hanya seorang lulusan SMA dan bekerja menjadi kepala administrasi di sebuah grup perusahaan photo studio dan video shooting. Sedangkan istriku seorang pengajar bahasa Inggris di sebuah lembga kursus. Kami saling kenal di sebuah seminar kemudian saling cocok hingga setahun kemudian memutuskan menikah.
Sungguh sangat malang nasib istriku. Di awal pernikahan di tahun 1998, Negara kita ini sedang mengalami kekacauan politik dan krisis moneter yang sangat parah. Harga rupiah waktu itu mencapai Rp. 18.000 per dollar Amerika. Banyak perusahaan yang bangkrut dan mem-PHK-kan karyawannya termasuk perusahaanku. Semua karyawan di PHK termasuk aku tanpa pesangon yang memuaskan. Sehingga selama menjadi istri di awal pernikahan kami, dia hanya tiga kali menerima gajiku. Selanjutnya aku harus menganggur dan pekerjaan baruku adalah mencari lowongan pekerjaan.
Tidak hanya istriku. Kasihan juga anak pertamaku yang baru memasuki bulan pertama di rahim sang ibunya. Dia harus kekurangan nutrisi karena saat itu aku harus menghemat uang pesangon yang masih tersisa. Seharusnya masa awal pernikahan kami menjadikan masa yang membahagiakan dengan kehamilan anak pertama yang ditunggu-tunggu sebagai hasil cinta.
Nasib memang menyedihkan tetapi the show must go on. Aku tidak mungkin berpangku tangan hanya menghabiskan sisa pesangon yang tak seberapa. Lamaran pekerjaan melayang ke mana-mana di saat banyak perusahaan sedang mengurangi karyawannya. Sangat sulit rasanya waktu itu untuk bisa mendapatkan panggilan wawancara kerja.
Dari sales door to door, Multi Level Marketing, jualan kelilingan pun aku lalui dengan penuh suka cita. Namun hasilnya tidaklah seberapa. Ketika aku tidak mampu menjual barang sesuai target, penghasilanku pun tidak menentu. Untuk memenuhi kebutuhan di masa itu kami mulai berani berhutang sana-sini hingga aku memutuskan untuk mencoba mendaftar jadi TKI di luar negeri. Namun tuhan menghendaki lain karena kondisi kesehatanku tidak memungkinkan dan akhirnya akup un tidak lolos seleksi.
Kami terus mengenang masa lalu itu. Sekarang aku harus bersyukur dengan kondisi ini. Dengan keagungan Tuhan dan  karena tangan-Nya lah nasib kami bisa berubah. Istriku menjadi seorang PNS walaupun hanya golongan 2. Aku pun bisa melanjutkan kuliah hingga lulus dan menjadi seorang guru. Kenikmatan apa lagi yang harus aku pungkiri yang telah diberikan oleh Tuhan.
 Ternyata banyak hal membanggakan yang aku dapatkan selama menjadi guru. Setiap pagi anak-anak datang menghampiriku dan melakukan ritual 3 S (senyum, salam, dan sapa) sambil berjabat tangan. Ketika di kelas, aku menjadi orang nomor satu yang menjadi pusat perhatian. Di sana aku harus bisa menjadi seorang yang memiliki sumber ilmu yang siap untuk dibagikan. Aku harus bisa jadi teman curhat mereka ketika mendapat kesulitan atau ada masalah. Di kelas aku harus bisa menjadi seorang aktor yang mampu ber-acting untuk menarik perhatian mereka ketika mereka sudah mulai lelah dan bosan. Aku juga harus bisa menjadi pengganti orang tua mereka yang bijak dan selalu mengingatkan mereka ketika sikap dan perilaku sudah melewati batas kesopanan. Dan masih banyak lagi yang membuatku tetap merasa bangga dengan profesi ini.
Pembicaraan kami berlanjut namun belum mendapatkan keputusan apa-apa. Pembicaraan hanya seputar perjalanan mas lalu yang tentunya menjadi pengingat bahwa bagaimanapun juga keadaan ini lebih baik. Menurut pendapat istri, hingga pensiun tetap menjadi guru honorer di sekolah negeri bukanlah hal yang perlu disesalkan. Tetapi kalau hal ini sangat menyiksa diriku, maka perlu diputuskan solusi lain.
Begitu bijaksananya sang istri hingga aku pun harus kembali merenung. Dan akhirnya aku tidak mampu memutuskan apa-apa selain tetap harus menjalaninya sampai pembicaraan serius inipun terhenti.
Hingga suatu saat di awal tahun 2014,  ada kebijakan mengenai kurikulum 2013 yang harus secara serentak diberlakukan di semua sekolah. Di situ, posisiku adalah salah seorang yang harus siap kehilangan jam mengajar. Karena ternyata jam perminggu di SMA untuk mapel bahasa  Inggris berkurang menjadi 2 jam. Alhasil, jumlah jam yang ada hanya cukup diberikan kepada yang berhak yaitu guru PNS.
Aku sadar sepenuhnya kalau perjuanganku selama 9 tahun di SMA negeri tersebut harus aku akhiri. Sedikitpun aku tidak akan menyesal kalau aku harus kehilangan pekerjaan sebagai guru di sekolah tersebut. Tetapi kehilangan momen berbagi ilmu dan mendidik anak-anak adalah hal yang paling mendasar  yang tidak bisa dilupakan dalam waktu singkat.
Adalah sang istri yang bisa menjadi tumpuanku di saat aku sedang galau. Kami pun kembali mengadakan rapat empat mata untuk mendiskusikan masalah yang dulu pernah dibahasnya. Istriku terus memberi semangat dengan mengusulkan berbagai macam alternatif.  
Hingga akhirnya aku harus benar-benar memutuskan untuk resign dari sekolah negeri tersebut. Di luar sana masih banyak sekolah yang membutuhkan sosok guru seperti aku kata istriku membuatku semakin yakin. Dan benar juga, tak lama setelah itu, panggilan wawancara, tes tulis, dan micro teaching pun aku lalui hingga akhirnya aku benar-benar menjadi bagian dari guru di sekolah tersebut.
Status guru honorer di sekolah negeri sudah tidak aku sandang lagi. Statusku berubah menjadi guru yayasan. Apapun statusku dulu maupun sekarang bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Berapapun gajiku dulu maupun sekarang bukanlah ukuran yang bisa menjamin kebahagiaan dan kepuasan. Yang terpenting bagiku adalah aku telah diberi kesempatan untuk menjadi guru. Tidak semua orang bisa merasakan betapa bangganya menjadi guru. Ketika di suatu waktu bertemu seorang yang telah sukses dan dia mengaku pernah menjadi muridku di masa lalu, kebagahiaan inilah yang singgah di dadaku. Momen ini yang sering aku rasakan hingga kepuasan batin ini tidak mungkin aku dapatkan seandainya aku tidak menjadi guru.
Mungkin semua sudah menjadi rencana-Nya dan semua perjuangan dan pengalaman masa lalukulah yang mampu mendewasakanku. Banyak hal yang tidak dapat dipungkiri dan banyak hal yang harus aku syukuri.

Jumat, 21 Mei 2021

Halalbihalal Puhua School : Bersatu dalam Keberagaman

Halalbihalal Puhua School : Bersatu dalam Keberagaman


"Halalbihalal Sekolah 3 Bahasa Putera Harapan"

Bulan Mei tahun 2021 merupakan bulan yang sangat istimewa karena banyak momen penting yang terjadi di bulan ini. Pertama, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2021. Kedua, tanggal 13 Mei, di mana semua umat Islam sedang berbahagia merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa dan merayakan Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 H. Lalu pada tanggal 20 Mei, adalah merupakan hari di mana kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. 

Masih dalam momen hari-hari penting itu, tanggal 21 Mei, hari ini Sekolah Tiga Bahasa Putera Harapan Purwokerto (Puhua School) juga mengadakan acara yang sangat istimewa bagi kebersamaan keluarga besar Puhua School yang terdiri dari Yayasan, Konsultan Sekolah, Senior Management Team,  guru dan karyawan, orang tua siswa, dan para siswa. Kami bersatu dalam keberagaman yang merupakan tema hikmah silaturahmi yang disampaikan secara mendalam dan sangat mengena dengan perbedaan yang dapat menyatu pada acara inti yang disampaikan oleh Gus Ajir Ubaidillah pemimpin Ponpes Nurul Huda Cilongok. Acara tersebut diadakan secara virtual sore tadi mulai pukul 16.00 WIB. 

Acara halalbihalal ini juga dihadiri oleh konsultan Puhua School Ibu Dr. Capri Anjaya yang dalam sambutan penutupan menyampaikan beberapa kesan yang mendalam tentang kegiatan tersebut. Salah satu kesan yang disampaikan adalah bahwa beliau dapat merasakan kebersamaan dalam perbedaan di lingkungan Puhua School karena semua pihak saling meminta maaf dan memafkan yang merupakan momen yang sangat indah, dan tentunya akan lebih indah jika momen hari ini akan diterapkan setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu beliau berharap kualitas pendidikan di Puhua School akan terus meningkat dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan ini. 

Acara silaturahmi virtual tersebut dilengkapi dengan ikrar permintaan maaf dari jajaran pengurus yayasan, perwakilan guru dan karyawan all levels dari Early Year, Primary, dan Secondary, dan tak ketinggalan perwakilan siswa dan juga orang tua siswa. Dengan maaf memaafkan yang yang hanya dilakukan secara virtual namun tidak mengurangi kebersamaan yang selalu diciptakan di lingkungan Puhua School. Bahkan fasilitas online ini bisa dapat mempersatukan semua pihak walaupun dengan jarak yang berbeda dan semua pihak dapat hadir dengan mudah melalui teknologi yang digunakan.

Harapan kami acara tersebut dapat menjadi sarana untuk tetap saling mempererat persaudaraan dalam lingkungan keluarga besar Puhua School dan komitmen Puhua School untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada masyarakat Banyumas dan masyarakat yang lebih luas. ayosugiryo.blogspot.com

#Repotase


Minggu, 16 Mei 2021

Ketika Musim Cengkeh Tiba


Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin mengenang masa kecilku yang penuh dengan cerita. Kali ini aku mau membuka lembaran masa kecilku di sekitar tahun delapan puluhan. Di mana musim cengkeh merupakan salah satu bagian penting dari semua kisah yang lain. 

Baiklah, saya mulai saja dari sisni.

Ketika musim cengkeh tiba, hampir semua warga desa dapat merasakan hingar bingarnya musim ini. Musim yang paling ditunggu. Banyak senyum di ujung bibir para warga ketika kuncup-kuncup bunga cengkeh sudah mulai terlihat. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki hektaran di kebunya. Semua berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut tersenyum bahagia. Karena dari jasa merekalah cengkeh dari pucuk-pucuk pohon tertinggi bisa digapai dengan tangan-tangannya. Mereka rela melawan angin demi butiran-butiran cengkeh di pucuk pohon nan tinggi. Mereka menjadi pekerja pemetik cengkeh.

Juragan-juragan musiman berkeliaran seperti anak-anak ayam lepas dari induknya. Berbagai sistem dihalalkan. Ada yang dikenal dengan sistem tebas - membeli cengkeh yang masih di pohon dengan taksiran harga tertentu-, ada sistem ijon – membeli cengkeh ketika kuncup bunga baru terlihat- yang kadang sering merugikan petani cengkeh.

Anak-anak di musim cengkeh ikut juga bereuforia. Seperti aku dan kakakku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah, aku dan kakakku berlomba untuk mendapatkan butir cengkeh sebanyak-banyaknya. Sambil mengucek mata yang masih malas untuk melihat dunia, langsung bertolak ke belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam semalam. Sebutir sangat bernilai. Aku memungutnya satu persatu dan tak boleh ada yang tertinggal satu butirpun. Satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi alat ukur atau timbangan bisa kami dapatkan di pagi itu. Lumayan, cukup untuk jajan satu hari bahkan lebih.

Kantong anak-anak desa itu rata-rata tebal. Yang paling aku tunggu adalah penjual keliling musiman. Mereka berbondong-bondong memikul jualannya berjalan kiloan meter entah dari mana hingga sampai ke ujung desaku di dataran cukup tinggi. Rupanya mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan musim ini. Mencari rejeki demi anak istri hingga ke desa kami. Targetnya adalah kami, anak-anak kecil berkantong tebal.

Yang kutunggu tidak lain adalah es potong, harum manis, telor asin, kembang gula, dan enting-enting beras. Enting-enting beras menjadi jajanan terfavoritku. Adalah selembar foto artis ibukota yang ada di dalam plastik jajanan tersebut, tapi bukan itu yang menarik buatku, tetapi syair lagu pop yang ada di belakang foto artis yang selalu aku nanti. Susah sekali mencari syair lagu di jaman itu. Belum ada internet, apalagi aplikasi atau website seperti Stafaband, Joox, Spotify dan semacamnya yang sekarang semua sudah ada di genggaman tangan berbentuk Smartphone. Atau aku harus berebut radio transistor merek National milik nenekku dan selalu stand by di depannya dan siap menunggu dengan sebuah pulpen dan buku tulis untuk menyimak acara Syair dan Lagu Pop di RRI Purwokerto setiap hari Sabtu jam 16.30. Sang penyiar mengeja kata demi kata dengan sabarnya dan para pendengar di seantero Banyumas dan sekitarnya berjuang untuk mendapatkan syair lagu setiap minggunya. Sungguh kejadian yang aneh yang tidak pernah kutemui lagi di jaman sekarang.

Wajah-wajah orang dewasa di penuhi dengan senyum di ujung bibirnya. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan kemakmuran. Jangankan bunga cengkeh, daun cengkeh yang rontok pun sangat memiliki nilai ekonomis. Di tetangga desa kami ada ketel penyulingan minyak daun cengkeh. Anak-anak sekolah termasuk aku biasanya mengumpulkan daun dari bawah pohon lalu disetorkan ke pengepul untuk kemudian diangkut oleh pengusaha penyulingan. Kebetulan juga kakak iparku selain menjadi aparat desa juga punya bisnis sambilan menjadi pengepul daun cengkeh. Kadar minyak daun cengkeh kering ini bisa berkisar antara 2 sampai dengan 3% tiap 100 kg.daun cengkeh kering diperoleh minyak antara 2 sampai 3 kg. Harga minyaknya antara Rp 40.000,- sampai dengan Rp 50.000,- per kg saat itu.

Siang memetik cengkeh malam berpesta di sela-sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan tradisional disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam. Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Aku pun terus terjaga dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25. Cukup untuk ditukar 5 buah permen.

Bagian ini juga masih terrekam baik di ingatanku. Bagian di mana musim ini membawa banyak orang jadi lupa diri. Di beberapa sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi, kartu Remi. Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang lepas kendali dari kehingaran musim ini.

Waktu itu judi kartu masih sangat lekat di masyarakat. Jangankan di musim cengkeh seperti itu. Di luar musim pun masyarakat masih hiruk pikuk dengan judi ini.Tempat paling ramai untuk menyalurkan hasrat berjudi adalah di tempat orang hajatan. Di mana ada bunyi corong tanda warga desa berpesta pernikahan atau sunatan, di situlah para pemburu meja judi akan bermukim. Para istri pemburu kartu remi ini siap-siap untuk ditinggal semalaman.

Mereka hanya orang desa yang polos dan tak tahu yang mereka lakukan dilarang agama seperti yang mereka tahu saat sekarang. Semua seperti digelapkan. Pemerintah desa sebagai pengatur tatanan sosial masyarakat yang seharusnya bersih dari penyakit masyarakat seperti judi, tidak punya kekuatan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan para ulama yang ada pun tak kuasa membendung aktivitas miris waktu itu. Ini yang di sebut lembaran kelabu di balik kejayaan musim ini.

Satu hal lagi yang masih menggantung di benakku waktu itu. Dibalik hingar-bingarnya musim ini, masih sangat jarang anak-anak di desaku yang melanjutkan sekolah ke SMP apalagi SMA. Mereka rata-rata hanya mentok di sekolah dasar. Memang pada masa itu pemerintah belum menggencarkan Program Pendidikan 9 tahun. Termasuk ketiga kakakku.saudara-saudaraku, tetanggaku, dan anak-anak pada umumnya cukup puas dengan berijazah SD. Mungkin mereka juga sama sepertiku yang tidak begitu tahu apa itu cita-cita.

Setahuku, bukan mereka tidak mampu membayar uang sekolah saja. Tetapi mereka berpikir sekolah hanya buang-buang waktu dan buang-buang biaya. Mereka tidak cukup informasi mengenai dunia luar seperti informasi pendidikan dan kemajuan teknologi di luar sana. Pesawat televisi saja masih jarang yang punya. Hanya beberapa orang yang punya pohon cengkeh cukup banyak dan yang cukup berani untuk menjadi saudagar musiman seperti bapakku. TV hitam putih yang ada di rumah merupakan hasil kerja bapakku berbisnis cengkeh.

Ada sebagian yang takut harta bendanya akan habis untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah hanya untuk mereka yang mempunyai wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di saat musim cengkeh berlalu banyak mereka yang harus bekerja lebih keras lagi untuk bercocok tanam seperti saat sebelum musim cengkeh tiba. Apalagi kemeriahan dan kebahagiaan musim cengkeh sewaktu aku kecil dulu sudah tidak lagi berkibar ketika aku mulai beranjak remaja.

Ternyata Tuhan memang maha adil. Hingga pada tahun-tahun berikutnya, hampir semua wilayah di desaku dan juga di seluruh Indonesia banyak pohon cengkeh yang mati karena terserang penyakit pytoptora dan cacar daun. Seandainya tidak, maka panen cengkeh nasional akan sangat melimpah hingga terjadi hiper produksi. Padahal, dalam kondisi hanya over produksi pun, harga cengkeh telah jatuh dari belasan ribu rupiah pada akhir tahun 1970an, tinggal Rp 2.000,- per kg. Hingga akhirnya pemerintah membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek justru menjalankan sistem monopoli.

Tahun 1990an adalah puncak kejengkelan petani cengkeh terhadap BPPC. Banyak petani yang menelantarkan kebun cengkehnya. Ada pula yang menuruti anjuran pemerintah untuk menebang tanaman cengkehnya. Selain karena cacar, banyak warga desa yang terpengaruh anjuran pemerintah tadi. Cengkeh tidak lagi seberharga dulu. Cengkeh menjadi komoditi sampah bagi kami. Sumber kemakmuran mulai tumbang seperti tumbangnya pohon cengkeh yang ditebang oleh pemiliknya sendiri. Saat itu batang pohon kemakmuran itu tersusun rapi di samping tungku perapian dapur rumahku. Teronggok tak bedaya dan siap untuk jadi kayu bakar.

Setelah pemerintah Orde Baru tumbang dan BPPC dibubarkan, harga cengkeh kembali merayap naik. Puncaknya terjadi tahun 2001. Harga cengkeh kering mencapai Rp 80.000,- per kg. Namun sayang, bapakku tak menyisakan satu batang pohonpun. Begitu pula dengan petani yang lain.


My Quotes: Impian


 #AISEIWritingClub

#Day6MayChallenge

#Katamutiaraku

Mengapa Covid19 Harus Singgah ke Rumahku?


Awal Ramadan seharusnya hadir begitu indah diwarnai dengan wajah sumringah karena kami dapat beribadah dengan penuh barokah. Tetapi tidak untuk Ramadan kali ini. Hari pertama datangnya Ramadan, waktu itu tanggal 13 April 2021, merupakan hari kedua kami berempat sedang menjalani isolasi mandiri setelah sehari sebelumnya kami menjalani tes PCR di puskesmas setempat. 

Semula berawal dari tanggal 3 April, anak ketiga kami mengeluh panas yang diikuti tenggorokan sakit. Kami belum berfikiran untuk ke dokter, Kami masih berusaha untuk membelikan obat turun panas. Beberapa hari kemudian kakaknya mengikuti jejak sang adik dengan gejala yang sama. Hari Selasa keduanya kami bawa ke klinik, dan diberikan obat lengkap. Selama masa pengobatan, kondisi anak tidak semakin membaik. Kepala sering pusing dan badan lemas. Dengan terpaksa dia sering meninggalkan zoom meeting kelas online dan banyak tugas tidak tersentuh. Pernah dia menangis di depan laptop dan memukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. Ketika aku tanya dia malah semakin keras tangisannya. Rupanya dia stress karena memaksakan diri untuk bisa sekolah tetapi kondisi fisik tidak mendukung.

Keesokan harinya, Kamis, 8 April, giliran istriku harus dibawa ke klinik juga. Batuk dan kepala pusing serta badan nggreges mulai melanda tubuhnya. Bertiga mereka harus menjalani pengobatan dengan gejala yang hampir sama. Keluhan demi keluhan mulai dirasakan. Lemas dan tidak bisa membaui dan merasakan enaknya masakan. Kami curiga. Jangan-jangan Covid19 sudah mampir ke rumahku. 

Dengan kondisi ini, kami merasa perlu untuk mengetahui apakah kami benar-benar dalam pengaruh Covid19?  Virus yang sedang viral dan ditakuti oleh semua orang sedunia. Tidak tanggung-tanggung, sedunia. Hingga semua negara percaya bahwa Covid19 memang benar-benar ada dan berbahaya. Sudah ratusan jiwa melayang gara-gara Covid. Lalu, apakah kami juga harus kecipratan virus ini juga, yang nantinya bisa merenggut nyawa kami? Ah, tidak! Ini pasti bukan si Covid.

Tetapi jawaban teman dokter kami ketika kami bertanya tentang hal ini, telah mengantarkan kami untuk bertandang ke puskesmas. Dia menyarankan kami untuk segera diswab. Malam itu kami serumah tidak bisa tidur. Anak ketiga kami sempat panik dan akan dibawa ke rumah sakit karena mengeluh macam-macam dan tidak mau makan. Tapi kami masih bertahan untuk besok saja diperiksanya. Kenapa ke puskesmas, karena kalau memang benar anakku harus diswab, tentunya kami kesulitan untuk pendanaannya, kalau harus bayar tes PCR secara mandiri di rumah sakit swasta. 

Sabtu, 10 April, kami mencoba untuk memeriksakan dan meyampaikan keluhan anak ketiga kami tersebut. Di mana semalam sebelumnya aku pun mulai ada gejala batuk. Setelah sampai di Puskesmas, kami bukannya diperiksa, tatapi hanya  diberikan bebeapa pertanyaan, dan dari jawaban-jawaban kami, petugas berkesimpulan bahwa kami berempat sekeluarga harus diswab pada hari Senin 12 April. Untuk pendataan dan pendaftaran, disampaikan akan ada petugas yang menghubungi nomor WA kami. 

Kami sempat berfikir dan mengeluhkan beberapa hal sementara kondisiku sudah mulai batuk, dan yang lainnya masih bergejala yang sama. Kenapa harus hari Senin, pikir kami. Tapi kami masih berfikir beberapa kemungkinan diantaranya petugas swab yang tidak setiap saat ada, apalagi ini hari Sabtu, yang hanya buka sampai jam sebelas.

Hari Senin, kami berangkat ke Puskesmas dengan rute masuk puskesmas seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, yaitu masuk melewati pintu gerbang samping Puskesmas. Kami sudah mulai berfikir buruk pada diri kami sendiri. Mungkin memang sudah seharusnya begini kalau orang yang dianggap memiliki penyakit menular akan semakin dibatasi untuk berinteraksi dengan orang lain. Tapi kami juga sadar kalau memang benar kami terpapar, bukannya kami juga tidak seharusnya menjadi agen penyebaran virus juga.

Kami diswab bergantian, ada juga pasien lain. Selesai swab, kami diberikan surat keterangan untuk isolasi mandiri selama empat belas hari. Surat tersebut tentunya sangat penting sebagai dasar untuk berbagai keperluan. Pertama, kami harus menginformasikan kondisi kami ke lingkungan setempat (RT) atau ke instansi/sekolah di mana kami harus bekerja. Dalam ketegangan di masa menunggu hasil swab, kami berusaha untuk menenangkan anggota keluarga dan tetap tenang menghadapi ini. Kami berdoa dan kami tetap yakin bahwa virus yang kami alami ini virus biasa dan kami akan terlepas dari kungkungan isolasi mandiri.

Keesokan harinya, kami berusaha menghubungi petugas puskesmas namun belum juga ada hasil. Kami harus bersabar hingga Kamis pagi. Kabar yang kami tunggu-tunggu itu pun datang. Pesan WA dari petugas puskesmas yang tidak kami harapkan pun harus kami terima saat itu juga. Kami berempat semuanya positif terpapar Covid19. Kami semua diam dan membeku sambil merenungi berbagai hal.

Dalam perenungan itu ada semacam rasa berdosa sehingga anak-anak kami ikut menderita karena Covid. Kami para orang tua yang setiap hari harus mobile ke luar rumah, bekerja, mencari keperluan sehari-hari, atau bahkan harus bertemu orang untuk urusan pekerjaan dan lain-lain. Kami menduga-duga bahwa kami berdua lah yang menjadi agen virus yang menulari anak-anak yang hampir tidak pernah ke mana-mana selama masa pandemi ini.

Sempat juga istriku berburuk sangka sama vaksin yang disuntikan ke tubuhnya pada Selasa, 6 April, dan itu merupakan vaksin yang kedua. Waktu itu dia dalam kondisi tidak begitu fit, dan menurut penilaiannya sendiri justru virus itu berasal dari vaksin tersebut. Ah, itu juga baru merupakan analisa sederhana dalam suasana hati yang baper karena perasaan berdosa tadi.

Lalu siapa yang membawa virus ke rumah? Apakah tiba-tiba saja virus yang beterbangan di udara dan masuk ke hidung atau mulut kami saat berjalan atau naik kendaraan? Atau mugkin melalui benda-benda yang kami sentuh di tempat-tempat umum? Atau memang langsung ditularkan oleh seseorang yang kebetulan tanpa sadar bertemu dengan kita? Semua itu selalu menjadi pertanyaan kita di saat-saat seperti ini. Tetapi bukannya kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan baik ketika bekerja dan kemanapun kami beraktifitas? Cuci tangan, pakai masker, jaga jarak, semua semaksimal mungkin kami lakukan. Hingga akhirnya kami semakin merasa berdosa pada anak-anak kami yang selama sekolah online ini tidak pernah pergi ke mana-mana sedangkan kami berdualah yang masih beraktifitas ke luar rumah. Entah melalui apa pun  sangatlah mungkin jadi agen pembawa virus ke rumah kami sendiri. Kami semakin merenung dan bersedih. Sepertinya, kami tidak bisa memaafkan diri kami sendiri.

Pada intinya, tidaklah mudah bagi kami untuk begitu saja menerima hasil ini. Walaupun kami semua bergejala namun kondisi kami masih tergolong baik. Kami masih bisa makan walau tidak enak, karena tidak bisa merasakan makanan dan aroma masakan. Kami masih pusing batuk dan lemas. Yang masih jadi pemikiran kami, mengapa virus viral itu harus singgah ke rumahku, menyerangku, istri dan anak-anakku? Lalu, apa yang harus kami lakukan di dalam rumah hingga empat belas hari ke depan setelah tanggal 12 itu? Siapa yang akan memenuhi kebutuhan sehari-hari kami ketika persediaan bahan makanan telah habis?

Dalam kegelapan pikiran itu, kami teringat karena masih ada anak pertamaku yang tidak mengalami gejala apa-apa seperti kami berempat, yang artinya dia masih aman untuk sekedar ke luar rumah dan disuruh beli bahan makanan atau keperluan lain. Tetapi pemikiran itu pun tidaklah lama, karena tiba-tiba ada pesan dari petugas puskesmas, bahwa semua anggota keluarga yang ada di rumah harus menjalani swab juga. Besoknya, 16 April anak pertama kami diswab, dan itu artinya tidak ada lagi seseorang yang bisa keluar rumah untuk sekedar beli keperluan sehari-hari khususnya bahan makanan. Mulai hari itu lengkap sudah kami serumah diisolasi mandiri. 

Akhirnya kekhawatiran kami mulai terjawab setelah ada pesan dari petugas puskesmas yang mengabarkan bahwa akan ada petugas dari pihak kelurahan untuk mengantar sembako. Lalu, beberapa rekan kerja, teman, dan warga setempat dan kantor yang sudah mengetahui keberadaan kami mulai berdatangan mengirimkan berbagai keperluan dari makan, alat kebersihan, makanan kering dan basah. Mereka berdatangan hingga ke depan gerbang pintu rumah. Kami hanya bisa mengucap terimakasih sambil melambaikan tangan dari dalam rumah. Banyak yang menawarkan jasa untuk keperluan kami agar jangan sungkan menghubungi dan banyak yang siap membantu. Kami hanya bisa mengucap syukur dan berdoa atas kebaikan semua pihak.

Kami tidak hanya merenungi nasib hingga Covid19 itu semakin betah di rumah kami. Kami melakukan berbagai upaya peningkatan imun. Selain minum obat dan vitamin, kami berusaha untuk makan bergizi, berjemur, dan hal lain yang kami lakukan selama Covid19 bersarang di rumah kami. Kami juga tetap bersyukur sehingga ibadah di bulan Ramadan ini tetap bisa kami lakukan semampu kami walaupun hanya di rumah saja. Beberapa kali kami mencoba untuk berpuasa, namun kami membutuhkan banyak cairan sehingga sering gagal puasa karena batuk yang mendera juga. Tentunya kami juga berusaha untuk tetap berfikir positif dengan keadaan kami ini walaupun tidaklah mudah. 

Hingga empat belas hari pun berlalu, sebagian gejala masih kami rasakan. Terutama aku sendiri batuk dan sesak nafas justru semakin menggila. Kami pun berusaha menghubungi teman dokter kami dan juga puskesmas. Semua obat dari puskesmas kami sampaikan jenisnya ke teman dokter kami. Kami masih disarankan untuk tetap mengkonsumsi obat tersebut karena menurut teman dokter kami juga cukup baik. Karena kondisi kami masih belum bisa dikatakan sembuh total, maka kami belum diberikan surat bebas isolasi, dan menurut sarannya kami harus menunggu beberapa hari lagi, hingga tanggal 30 April baru kami mendapat surat tersebut. Itu artinya kami sudah boleh beraktifitas seperti semula walaupun beberapa gejala masih ada dan aku pun masih sering batuk. 

Banyak pihak yang bertanya, kenapa tidak diswab ulang sehingga tahu persis bahwa kami sudah negatif dan tidak berbahaya bagi orang lain. Kami pun serumah bertanya tentang hal itu. Kami tidak dapat menolak karena memang mungkin itu sudah menjadi kebijakan pihak puskesmas untuk tidak melakukan swab kedua bagi kami. Kami mendapat informasi bahwa memang tidak ada swab kedua, dan menurut informasi dari puskesmas bahwa setelah empat belas hari, virus sudah melemah dan tidak akan menular. Kami tidak tahu persis apakah memang betul seperti itu, kami hanya pasrah dan akhirnya harus menerima surat bebas isolasi mandiri tersebut setelah delapan belas hari masa isolasi mandiri. Kami mengirimkan surat keterangan bebas isolasi tersebut ke pimpinan di instansi kami masing-masing. Sementara aku mendapat perpanjangan WFH hingga dua hari ke depan dan begitu pula istriku. 

Hari pertama aku masuk kerja, aku masih mengisolasikan diri di sebuah ruang kelas di lantai tiga dan tak seorangpun yang aku harus temui. Secara formal aku berangkat kerja, tapi tak seorang pun aku temui selama dua hari aku bekerja. Aku pergi ke toilet ketika lorong ruangan terlihat sepi, dan aku pun sholat di ruang tersebut. Hingga aku catat semua barang yang pernah aku pegang dan tempat mana saja yang aku singgahi. Mungkin aku berlebihan tapi itulah yang aku harus lakukan. Hal ini tentunya akan sangat penting aku lakukan untuk mengobati sakitku dan juga mentalku yang kadang down dengan kondisi ini. Mungkin virus ini sudah pergi dari tubuhku, namun rasa takut bertemu orang masih tetap ada. Kadang memang bukan dari diriku sendiri, orang yang hendak menemuiku pun serasa canggung dan berusaha menghindar atau memberikan jarak. Aku sadar dan maklum betul dengan kondisi ini. Dan aku harus berbesar hati walau terasa sedikit sakit. 

Lain halnya dengan istri, begitu hari pertama kali masuk kantor, dia langusng di tempat seperti biasa, tidak ada isolasi di tempat kerja. Namun apa yang dia rasakan sungguh menyiksa. Entah itu datangnya dari diri sendiri maupun dari orang lain sama seperti aku. Dia menyaksikan beberpa teman sengaja menghindar ketika berjalan melewatinya. Tanpa harus menghindar pun, dia sadar sendiri bahwa sebenarnya semuanya tampak tidak nyaman. Dia juga berkehendak untuk isolasi di tempat kerja, namun tidak memungkinkan, selain membutuhkan tempat juga, banyak berkas pekerjaan yang harus dia mintakan tandatangan dan koreksi. Itulah yang menyulitkan.

Dari pengalaman bergelut melawan Covid19 yang rupanya harus mampir ke rumahku itu, kami tak henti-hentinya tetap bersyukur atas segala nikmat Allah yang luar biasa ini. Kami semuanya masih dalam lindungan Allah dan masih diberikan nikmat hidup. Mudah-mudahan kami tetap bisa bersyukur dan beribadah untuk menebus bulan Ramadan tahun ini yang tidak banyak yang bisa kami lakukan. Bulan penuh rahmat yang selalu kami nanti setiap kehadirannya. Kami menganggap ini sebuah ujian yang patut kami syukuri karena pada akhirnya kami telah mampu melewati masa pahit itu. Doa kami juga semoga Covid19 ini tidak perlu mampir ke rumah teman-teman kami yang sudah berbaik hati dan tidak perlu singgah ke rumah sisapapun juga. Walaupun kami sudah putus hubungan sama Covid19, namun tidaklah enak untuk menyandang gelar si mantan Covid ini. Serasa aib telah menghinggapi perasaan kami yang sangat lemah menghadapi cobaan ini.  Kini Ramadan telah berlalu dan berlalulah Covid19 dari muka bumi ini.

Mengenang Covid19 yang sempat mampir ke rumah kami di bulan Ramadan.

#parenting
#covid19


Selasa, 11 Mei 2021

My Quotes: Sahabat


"Sahabat adalah teman terbaik yang bisa saling mengisi"


 #AISEIWritingClub

#Day4MayChallenge

#Katamutiaraku

Sahabat bisa diartikan sebagai orang terdekat kita yang akan selalu mengisi dan mengerti tentang diri kita begitu pun kita sebaliknya, baik itu penderitaan, kebahagiaan, kekecewaan, kemarahan, dan lain-lain. Sahabat bisa menyimpan rahasia kita dengan rapat. Sahabat mampu membantu memecahkan masalah yang menimpa kita. Mungkin itu definisi sederhana mengenai sahabat. Sahabat bisa terdiri dari orang tua kita, anak-anak kita, teman dekat atau siapapun yang bisa menjadikan tempat berlabuh.


Related Post: Jaman Now, Masih Butuh Sahabat?



Jangan 'Baper' Baca Tulisan Ini!


Beberapa hari yang lalu, saya telah mencoba menulis tentang kata gaul 'mager'. Kali ini saya akan menulis lagi kata gaul yang lain seperti judul di atas 'baper'. Kata baper juga sudah masuk dalam KBBI, ba.per /bapêr/ yang merupakan akronim dari (ter)bawa perasaan dan memiliki arti berlebihan atau terlalu sensitif dalam menanggapi suatu hal. Sengaja saya pilihkan kata-kata tersebut karena sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Sebenarnya bahwa apakah baper itu penting atau tidak untuk dibahas? Itulah yang mungkin sedang menggelisahkan saya sehingga saya memilih topik ini untuk belajar konsisten menulis. Atau mungkin saat ini memang saya sedang baper, bisa jadi.  

Kalau ditiik dari maknanya, baper memang sudah merupakan salah satu diantara sifat yang ada pada diri setiap orang. Hanya mungkin kadar atau kapasitas kebaperan dari setiap orang berbeda-beda. Begitu pula dalam menyikapi masalah, setiap orang akan memiliki cara dan kemampuan berbeda-beda.

Baper bisa terjadi pada siapa saja dan tidak membedakan baik itu jenis kelamin, usia, maupun posisi seseorang. Namun banyak yang mengatakan bahwa perempuan lebih sering baper daripada laki-laki. Mungkin ini hanya sekedar asumsi atau praduga saja tetapi karena itu merupakan pendapat orang ya, sah-sah saja. Tetapi menurut Pakar Psikolog, Marissa Harrison, yang saya kutip dari kumparan.com bahwa perempuan merupakan makhluk yang perasa dan peka sehingga membuat perempuan lebih menggunakan perasaannya dibandingkan logikanya.

Begitu pula menurut hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti di University of Basel Switzwrland mengungkapkan bahwa pada otak anak laki-laki memiliki volume insula anterior atau volume materi abu-abu yang tumbuh lebih besar pada bagian yang menyebabkan perilaku kurang peka terhadap perasaan dan emosi. Sehingga dimungkinkan bahwa perempuan memang lebih memiliki kepekaan dan emosional dibandingkan laki-laki. Nah untuk para perempuan yang baca ini mohon untuk tidak baper dulu karena faktanya banyak juga laki-laki yang suka baper.

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa baper juga bisa dialami oleh siapa saja dan tidak hanya berdasarkan jenis kelamin. Menurut psikolog Bona Sardo, MPsi, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang saya kutip dari https://health.detik.com., bahwa baper umum terjadi pada seseorang yang sudah memasuki fase lanjut usia (lansia) atau baru pensiun. Meski begitu, bukan berarti semua orang yang memasuki masa lansia akan mengalaminya. Hal ini tentunya tidak terjadi pada semua orang karena ada hal-hal lain yang mempengaruhi seperti jabatan, kekuasaan, kehormatan, kepribadian dan masa adaptasi. Nah, pada masa adaptasi ini seseorang juga akan mudah marah dan sensitif karena sebelumnya memiliki jabatan atau kekuasaan dan saat ini sudah tidak produktif lagi. 

Lalu, apakah baper itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang buruk, baik, menguntungkan, merugikan atau merupakan hal yang wajar-wajar saja? Kalau melihat dari definisinya bahwa baper bermkna memiliki arti berlebihan atau terlalu sensitif dalam menanggapi suatu hal, maka tentunya sesuatu yang berlebihan ketika menanggapi sesuatu hal itu merupakan tindakan yang kurang menguntungkan. Karena dengan berlebihan dalam menanggapi sesuatu seseorang kadang akan kehilangan nalarnya untuk berfikir secara logis sehingga perasaannya akan mendahului logikanya. 

Selain itu, kita juga sering menjumpai atau bahkan mengalami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi banyak masalah atau dalam kondisi tersudut, biasanya kita sangat mudah terpicu untuk baper. Begitu pula orang yang sedang mengalami krisis tidak percaya diri akan sangat mudah terpancing untuk baper.

Salah satu akibat yang mungkin ditimbulkan ketika seseorang dalam keadaan baper dan dia harus memutuskan sesuatu maka keputusan yang dia buat dengan tanpa mempertimbangkan nalar yang baik hasilnya akan kurang menguntungkan. Sehingga setelah masa baper itu lewat, bisa terjadi penyesalan yang mendalam atas keputusannya itu. 

Dalam kondisi baper seperti ini sangat memungkinkan bagi kita untuk melakukan hal-hal yang di luar kendali nalar kita. Seperti memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa, berkata kasar di status sosial media, atau marah-marah pada orang lain yang bukan sasarannya. Al hasil, permasalahan baru akan mungkin ditimbulkan ketika kita tidak bisa mengendalikan kebaperan kita. Selain itu, tentunya kita juga tidak mau dikatakan bahwa kita termasuk orang yang baperan. Bukankah tidak enak menyandang gelar baperan.    

ayosugiryo.blogspot.com










Sabtu, 08 Mei 2021

Cerpen: Gadis Kecil Penjaja Kerupuk

 



Aku terkesima ratusan kali mendengarkan dia bercerita malam itu di atas becak sepanjang jalan Sudirman. Waktu itu kalau tidak salah sekitar tahun 1995. Dia berkisah tentang perjuangan seorang gadis kecil yang ingin menggapai masa depannya dengan segala keterbatasan dan membuatnya menjadi semakin dewasa dan mengerti betapa hidup perlu diperjuangkan. Sambil berkaca-kaca dia terus berkisah;

Genangan air berwarna hitam dari got-got mampet yang berada di samping kiri dan kanan di antara rumah-rumah yang berhimpitan sangatlah berbau busuk dan menusuk. Gadis itu berjalan terseok diantara bau busuk itu sambil beringsut menyeka keringatnya yang berusaha mengalir ke pelipisnya dan seperti tanpa mempedulikan dan tetap membiarkan bau itu keluar masuk hidungnya. Got-got itu adalah masalah klasik yang tak terlalu menjadi soal yang perlu penanganan serius bagi masyarakat di sana. Sarang nyamuk itu pun tak begitu mengganggu kehidupan mereka. Mereka lebih suka melakukan hal-hal praktis seperti mengoleskan lotion anti nyamuk ke bagian tubuhnya ketimbang harus membereskan saluaran air yang sudah menjadi sarang nyamuk itu.

Berulang kali pula gadis kecil itu menyibakkan rambutnya yang terurai seleher dan bagian atasnya mulai memerah karena terbakar panasnya matahari kota Indramayu. Tangannya yang mungil menjinjing wadah yang penuh dengan jajanan dan siap ditawarkan ke orang-orang sepanjang lorong gang. Beberapa ibu di depan rumahnya berusaha memanggilnya untuk membeli jualan titipan yang dibawanya. Senyumnya mulai mengembang diantara peluhnya ketika barang dagangannya mulai dibeli. Harapan untuk mendapatkan uang jajan hari itu akan terpenuhi ketika dia berhasil menjual semua dagangan titipan hari itu. Dua ribu lima ratus rupiah merupakan uang yang cukup untuk membuatnya bahagia. Orang tuanya yang hidup dengan segala keterbatasan membuat dia bekerja keras demi memenuhi keinginan yang sangat lumrah bagi seorang anak kecil yaitu jajan.

Bagi dia harga sebuah makanan kecil atau jajan harus ditukar dengan bekerja keras. Setidaknya hal itu bisa diperoleh jika mau membantu sang ibu berjualan kerupuk. Dia harus berjalan menyusuri kampung, jalan raya, pasar, sekolahan, mushola, dan stasiun kereta. Kadang dia harus menunggui jualannya di depan mushola sambil ikut mengaji dari luar. Kesempatan mengaji dia lakukan sambil berjualan.

Selain menjajakan dagangan titipan atau jualan kerupuk ibunya, dia juga harus berkorban waktu paginya sebelum jam sekolah dimulai. Setiap pagi dia berusaha berangkat sepagi mungkin demi teman terbaiknya. Si gadis pun harus berangkat lebih pagi untuk berangkat ke sekolah bersama dengan teman dekatnya, Erna. Bahkan dia berusaha sampai rumah temannya itu sebelum dia terbangun. Di sana, gadis kecil itu akan mendapatkan sarapan pagi setiap kali mengajak teman terbaiknya itu berangkat sekolah. Walaupun itu bukan tujuan, tapi karena niat baiknya itulah dia mendapatkan balasannya.

Erna anak orang yang serba kecukupan. Papahnya seorang bisnis yang lumayan. Si gadis hanya merasa heran terhadap anak seperti Erna. Betapa hidangan sarapan pagi yang menurut si gadis itu sangat mewah dan enak. Namun Erna sendiri enggan memakannya. Apa sebenarnya yang terjadi di dunia ini begitu terbalik. Erna yang sedemikian orang tuanya memperhatikan dan mampu memberikan sarapan enak malah tidak bisa menikmatinya. Si gadis yang ingin sekedar menikmati sarapan seadanya pun kadang orang tuanya tak mampu menyediakannya.

Si gadis juga punya rasa malu. Sering kali dia menolak untuk sarapan di rumah Erna, namun papahnya selalu memaksanya. Mereka adalah orang kaya yang baik hati.

“Ayo Nong sarapan!” begitu dia memanggil si gadis.

“Udah Bah! Saya sudah makan,” jawab si gadis sopan. Si gadis memanggil papah Erna dengan panggilan Babah sebagaimana umumnya masyarakat memanggilnya ‘Babah’ untuk sebutan ‘Bapak’ bagi orang keturunan Tionghoa.

“Ayolah! Biar Erna ikut makan! Si Erna itu susahnya minta ampun kalau suruh makan!” begitu papah Erna berkeluh merasa khawatir.

“Iya Bah,” jawab si gadis berusaha menuruti saran papah Erna.

Sejak TK, SD, hingga SMP si gadis tidak pernah membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan sudah dibayar oleh seseorang yang memang mampu dan berbaik hati untuk membiayai si gadis. Si gadis memang sudah menunjukan kecerdasannya dan orang kaya tersebut akan merasa bangga dan puas bisa membantu si gadis. Mereka tahu kehidupan si gadis yang serba kekurangan tapi masih mau bekerja keras untuk membantu orang tuanya berjualan di antara jam sekolah dan jam bermain sebagai anak-anak.

Baginya sekolah adalah tempat yang paling menarik untuk menghabiskan masa kecilnya. Agama adalah kepercayaan yang tidak bisa dibeli walaupun dia berada di lingkungan yang tidak seagama denganya sedari kecil karena dia bersekolah dari TK hingga SMP di sebuah Yayasan Agama yang tidak seagama dengan si gadis tersebut. Mereka para donatur pendidikan yang membiayainya juga berbeda agama namun sedikitpun tidak pernah menyentuh masalah agama yang si gadis dan keluarganya anut. Mereka hanya beritikad membantu si gadis karena memiliki kepekaan yang tinggi dengan permasalahan sosial. Membantu tidak harus melihat apa agama dan etnis orang yang dibantunya. Itulah yang sudah mereka lakukan terhadap si gadis hingga bisa mengeyam pendidikan sampai SMP di yayasan tersebut.

Kesempatan belajar dengan bantuan biaya pendidikan bagi si gadis pun harus berakhir di kelas dua SMP. Bukan karena sang donatur keberatan untuk melanjutkan pembiayaan si gadis. Namun karena si gadis mendapatkan tawaran untuk hijrah ke sebuah kota di Jawa Tengah.

“Nok, kalau kamu mau sekolahmu lanjut, Bapak ada kakak di Jawa Tengah. Namanya Pakdhe Byakto. Dia seorang guru SMA di Purwokerto. Pakdhe dan budhe Byakto itu tidak punya anak. Kalau kamu mau, Bapak bisa antar kamu ke sana,” Sang bapak menarik nafas dalam-dalam seolah ingin menelan kembali kata-kata yang sudah dikeluarkannya.

Mendengar kata Jawa Tengah si gadis langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang ada di otaknya ‘Jawa Tengah’ sangat identik dengan pendidikan. Hampir delapan puluh persen guru-gurunya di Indramayu berasaal dari Jawa Tengah. Impiannya untuk bisa bersekolah lanjut di Jawa Tengah sudah mampu mengalahkan segalanya. Semua kehangatan kampung halamannya, kedekatan Ayah dan Ibunya, Kakak dan adiknya, sekolahnya dan tentunya Erna sahabatnya. Si gadis bertekad untuk merantau ke Jawa Tengah dan bersekolah di sana. Dia begitu yakin bahwa masa depannya harus dia rajut di sana. Aku mau belajar di kota pendidikan di Jawa Tengah itu sudah menjadi tekadnya kalaupun dia harus mengorbankan perasaannya untuk berpisah dengan semua orang-orang terdekatnya. Mimpi itu harus dikejar dan diperjuangkan.

Hingga pada suatu malam di tengah hujan di mana dia harus menangis sejadi-jadinya karena harus berpisah dengan sang Bapak yang mengantarkannya ke rumah Pakdhe dan Budhenya yang belum dia kenal sebelumnya. Jawa Tengah sudah menjadi tempat yang dia cita-citakan untuk melanjutkan pendidikannya. Deraian air mata dan air hujan menyatu dan menjadi saksi tekadnya untuk belajar dan meraih cita-cita si gadis kecil itu. Dan, si gadis pejuang itu kini telah berubah menjadi gadis dewasa yang mandiri, smart dan penuh percaya diri yang sedang duduk sambil berkaca-kaca di sebelahku.