Sabtu, 22 Mei 2021

Problema Anak Tengah, Middle Child Syndrome


“Children are our most valuable resource.” – Herbert Hoover

Kali ini aku akan mencoba sedikit bercerita khusus tentang anak-anakku, khususnya anak keduaku. Bukan karena dia begitu spesial bagiku karena semua anak-anakku memang sangat spesial. Banyak hal yang membuat kami terus belajar dari setiap kejadian dalam mendidik dan membesarkan mereka. 

Suatu pagi, sewaktu aku sedang rapat verifikasi soal via zoom, tiba-tiba anak keduaku keluar dari kamarnya dengan muka seperti ketakutan dan mengeluh sesak nafas. Lansung saya off camera dan meminta dia duduk di kursi di depanku. Dengan sigap aku mencari semacam minyak telon atau kayuputih untuk sekedar dioleskan di telapak tangannya atau pun kakinya sambil dipijit-pijit. Yang dia butuhkan adalah ketenangan, kenyamanan, bahkan sentuhan sehingga ketika dioleskan minyak tersebut dia akan merasakan sentuhan yang memberikan ketenangan. Aku hafal betul dengan kondisi anakku karena kejadian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi.  Aku ajak dia senyum sambil mengelus tangannya dengan minyak  dan aku suruh dia duduk tegak dan sedikit-sedikit tarik nafas. 

Perlahan-lahan aku masuk ke alam pikirannya dengan memberikan bisikan kata yang menenangkan di dekat telinganya bahwa semua akan baik-baik saja. Semua orang punya masalah dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. 

Selama ini dia sering merasa bahwa dia mempunyai banyak masalah, selalu menjadi beban keluarga dan memiliki sifat lebih jelek dibandingkan saudara-saudaranya. Tetapi aku selalu menjelaskan padanya bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masing, begitu pula kelemahannya. Aku bilang bahwa dari keempat-empatnya anakku tidak ada yang terlahir dengan sifat dan karakter yang jelek saja maupun baik saja. Semua anak dilahirkan dengan berbagai karakter yang diturunkan dari kedua orang tuanya dan bahkan mungkin membawa sifat kakek dan neneknya. Jadi sudah dipastikan masing-masing anak memiliki kelebihan dan kekurangan sama seperti karakter manusia pada umumnya.

Selain dari sudut genetika, ada juga karakter yang dibentuk dari pendidikan orang tua dan lingkungan di mana dia berada dan bersosialisasi. Pengaruh lain juga dari kondisi sosial ekonomi orang tua saat dilahirkan dari anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang berbeda-beda. Sebagai latar belakang keluargaku yang dari merangkak hingga jongkok lalu berdiri, tetunya membawa pengaruh penting bagi setiap anak yang dilahirkan. Karena hampir bisa dipastikan bahwa setiap kelahiran anak-anakku memiliki background kondisi yang berbeda-beda. 

Anak pertamaku yang lahir di saat jaman krisis moneter di tahun 1998 dengan kondisi ekonomi keluargaku yang saat itu juga tidak menentu, tentunya kondisi ini yang memprihatinkan dan banyak sekali keterbatasan. Namun sebagai anak pertama laki-laki yang terlahir sangatlah ingin memberikan yang terbaik bagi anak pertama ini. Walaupun mungkin segala kebutuhan tidaklah bisa terpenuhi, tapi kami sebagai orang tua mengingnkan anak ini untuk mendapatkan sesuatunya sesuai kebutuhanya. 

Berbeda dengan anak kedua, yang kebetulan perempuan. Anak kedua kami lahir selang 4 tahun dari kelahiran kakaknya. Hadirnya bayi perempuan di keluarga kami menjadi pelengkap kebahagiaan setelah anak pertama terlahir laki-laki. Seandainya anak kami cuma dua, maka lengkaplah dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Begitu pula kondisi ekonomi keluarga juga sudah meningkat setapak lebih baik dari kelahiran anak pertama. Walaupun tidak semua kebutuhan dapat terpenuhi, namun setidaknya sudah lebih baik pada kondisi anak kedua ini lahir. Hal ini tentunya banyak faktor yang membentuk karakternya pula.

Tetapi permasalahan lain muncul ketika empat tahun kemudian lahirlah anak kami yang ketiga, dan perempuan. Anak kedua kami yang berumur empat tahun harus mempunyai seorang adik perempuan. Hal ini bisa menjadikan sebuah kebaikan buat sang kakak, namun juga bisa sebaliknya. Baiknya, ketika si adik bisa menjadi teman bermain yang satu gender dengan kakanya. Mereka bisa bermain bersama dengan mainan yang sama. Atau mereka bisa bermain peran dalam permainannya dengan menggunakan pakaian perempuan dalam sebuah drama-dramaan anak-anak. Namun ketika mereka sedang tidak bisa bermain bersama, justru persamaan gender dengan usia yang berbeda juga bisa menimbulkan masalah baru. Persaingan dalam hal mainan, pakaian, perhatian pada orang tua dan tentunya sang kakak akan merasa tersisih dalam hal perhatian. Ketika suatu saat sang adik dibelikan mainan baru atau pakaian baru sedang sang kakak tidak, malapetaka bisa terjadi. Kalaupun kami berdalih bahwa, 'dulu waktu kamu kecil, kamu juga dibelikan mainan yang sama, atau pakaian yang sama seperti adikmu,' tapi tentunya dia sudah lupa dan tidak mau mengerti. Menurutnya, kita sebagai orang tua telah berlaku membeda-bedakan. Mungkin itu yang dinamakan middle child syndrome.

Menurut artikel yang saya baca dari https://id.theasianparent.com/middle-child-syndrome  bahwa anak tengah akan mengalami middle child syndrome karena orang tua lebih memperhatikan anak sulung dan memanjakan anak bungsu. Sebagai pelampiasan dari rasa diabaikan tersebut, anak tengah akan memiliki kecenderungan untuk berulah. Membaca ini, aku lantas berfikir apakah kami sebagai orang tua sudah memperlakukan anak kedua kami tersebut seperti itu? Kami mencoba merefleksikan diri apa yang sudah kami lakukan selama ini. Sebagai orang tua, kami merasa sudah semaksimal mungkin berlaku adil pada anak-anak dan sesuai porsinya. Tidak ada yang dilebih-lebihkan baik anak sulung, anak kedua, ataupun anak bungsu. Tapi itulah yang terjadi seperti yang disampaikan oleh artikel itu, mungkin secara tidak sadar, kami melakukan itu, lebih memperhatikan si sulung dan memanjakan si bungsu, walaupun itu terdengar terlalu kasar. 

Kemabali ke anak keduaku, yang sementara kami sebut sebagai anak tengah, karena anak keempat lahir setelah anak ketiga kami berumur 10 tahun. Jadi bisa dikatakan, karakter anak kedua kami menjadi anak tengah sudah terbentuk sebelum si anak keempat kami lahir.

Kalau berkaca pada artikel di atas, ada hal yang menghawatirkan yang menyelinap di dadaku. Apakah betul nantinya anak kami tersebut akan benar-benar berulah? Tetapi saya paham betul perkembangan anakku. Justru dari sifatnya yang memiliki kepekaan lebih itulah terlihat ada hal-hal positif yang muncul. Dia cenderung ingin memperhatikan lebih pada orang lain dibandingkan pada dirinya sendiri. Untuk itu dia sebenarnya memiliki keistitimewaan yang bisa dijadikan bekal di masa mendatang. Kami harus optimis dengan keadaan anak tersebut. 

Dalam perilaku yang dapat diamati setiap hari, dia sering tidak tega melihat orang lain menderita termasuk terhadap binatang sekali pun. Hal inilah yang justru menjadi strength buat dia. Walalupun kepekaannya yang berlebih kadang membuatnya kurang mempedulikan dirinya sendiri dan sering menjadi gelisah hingga menangis. Di situlah tantangan kami untuk bisa membesarkan hatinya dan tetap optimis menghadapi masa depannya.  

Hanya dibutuhkan kelembutan dan ungkapan-ungkapan positif yang membukakan pikiran sehingga dia akan semakin membaik. Mungkin sedikit keterbukaan bahwa pada saat tertentu dia merasa resah dan gelisah yang kadang tidak jelas apa penyebabnya. Bahkan suasana sendu dari sebuah alunan musik pun bisa membuatnya menangis tanpa sebab. Hal itu sering diungkapkannya dan kami orang tua cukup tahu saja kalau dia sedang mengalami seperti itu. 

Begitu banyak peristiwa yang terjadi selama mendidik anak-anak sendiri di rumah. Semua orang tua atau pun keluarga pasti pernah mengalaminya dan tentunya dengan kisah problema yang berbeda. Tetapi tentunya kita bisa belajar dari semua peristiwa dan keistimewaan-keistimewaan yang ada pada anak-anak kita. Karakter yang tampak pada anak-anak kita merupakan sebagian besar olahan dan ramuan kita dalam mendidiknya sejak kecil. ayosugiryo.blogspot.com

 #FromHomeWithLove




 

Previous Post
Next Post

An English teacher of SMA Puhua Purwokerto who wants to share every moment in life.

2 komentar:

  1. Ya, pak, anak istimewa karunia Tuhan yg dipercayakan kpd bapak sekeluarga.

    BalasHapus