Aku terkesima ratusan kali mendengarkan dia bercerita malam itu di atas becak sepanjang jalan Sudirman. Waktu itu kalau tidak salah sekitar tahun 1995. Dia berkisah tentang perjuangan seorang gadis kecil yang ingin menggapai masa depannya dengan segala keterbatasan dan membuatnya menjadi semakin dewasa dan mengerti betapa hidup perlu diperjuangkan. Sambil berkaca-kaca dia terus berkisah;
Genangan air berwarna
hitam dari got-got mampet yang berada di samping kiri dan kanan di antara rumah-rumah
yang berhimpitan sangatlah berbau busuk dan menusuk. Gadis itu berjalan terseok
diantara bau busuk itu sambil beringsut menyeka keringatnya yang berusaha
mengalir ke pelipisnya dan seperti tanpa mempedulikan dan tetap membiarkan bau
itu keluar masuk hidungnya. Got-got itu adalah masalah klasik yang tak terlalu
menjadi soal yang perlu penanganan serius bagi masyarakat di sana. Sarang
nyamuk itu pun tak begitu mengganggu kehidupan mereka. Mereka lebih suka
melakukan hal-hal praktis seperti mengoleskan lotion anti nyamuk ke bagian
tubuhnya ketimbang harus membereskan saluaran air yang sudah menjadi sarang
nyamuk itu.
Berulang kali pula gadis
kecil itu menyibakkan rambutnya yang terurai seleher dan bagian atasnya mulai
memerah karena terbakar panasnya matahari kota Indramayu. Tangannya yang mungil
menjinjing wadah yang penuh dengan jajanan dan siap ditawarkan ke orang-orang
sepanjang lorong gang. Beberapa ibu di depan rumahnya berusaha memanggilnya
untuk membeli jualan titipan yang dibawanya. Senyumnya mulai mengembang
diantara peluhnya ketika barang dagangannya mulai dibeli. Harapan untuk
mendapatkan uang jajan hari itu akan terpenuhi ketika dia berhasil menjual
semua dagangan titipan hari itu. Dua ribu lima ratus rupiah merupakan uang yang
cukup untuk membuatnya bahagia. Orang tuanya yang hidup dengan segala
keterbatasan membuat dia bekerja keras demi memenuhi keinginan yang sangat
lumrah bagi seorang anak kecil yaitu jajan.
Bagi dia harga sebuah
makanan kecil atau jajan harus ditukar dengan bekerja keras. Setidaknya hal itu
bisa diperoleh jika mau membantu sang ibu berjualan kerupuk. Dia harus berjalan
menyusuri kampung, jalan raya, pasar, sekolahan, mushola, dan stasiun kereta.
Kadang dia harus menunggui jualannya di depan mushola sambil ikut mengaji dari
luar. Kesempatan mengaji dia lakukan sambil berjualan.
Selain menjajakan
dagangan titipan atau jualan kerupuk ibunya, dia juga harus berkorban waktu
paginya sebelum jam sekolah dimulai. Setiap pagi dia berusaha berangkat sepagi
mungkin demi teman terbaiknya. Si gadis pun harus berangkat lebih pagi untuk
berangkat ke sekolah bersama dengan teman dekatnya, Erna. Bahkan dia berusaha
sampai rumah temannya itu sebelum dia terbangun. Di sana, gadis kecil itu akan
mendapatkan sarapan pagi setiap kali mengajak teman terbaiknya itu berangkat
sekolah. Walaupun itu bukan tujuan, tapi karena niat baiknya itulah dia
mendapatkan balasannya.
Erna anak orang yang
serba kecukupan. Papahnya seorang bisnis yang lumayan. Si gadis hanya merasa
heran terhadap anak seperti Erna. Betapa hidangan sarapan pagi yang menurut si
gadis itu sangat mewah dan enak. Namun Erna sendiri enggan memakannya. Apa
sebenarnya yang terjadi di dunia ini begitu terbalik. Erna yang sedemikian
orang tuanya memperhatikan dan mampu memberikan sarapan enak malah tidak bisa
menikmatinya. Si gadis yang ingin sekedar menikmati sarapan seadanya pun kadang
orang tuanya tak mampu menyediakannya.
Si gadis juga punya rasa
malu. Sering kali dia menolak untuk sarapan di rumah Erna, namun papahnya
selalu memaksanya. Mereka adalah orang kaya yang baik hati.
“Ayo Nong sarapan!”
begitu dia memanggil si gadis.
“Udah Bah! Saya sudah
makan,” jawab si gadis sopan. Si gadis memanggil papah Erna dengan panggilan
Babah sebagaimana umumnya masyarakat memanggilnya ‘Babah’ untuk sebutan ‘Bapak’
bagi orang keturunan Tionghoa.
“Ayolah! Biar Erna ikut
makan! Si Erna itu susahnya minta ampun kalau suruh makan!” begitu papah Erna
berkeluh merasa khawatir.
“Iya Bah,” jawab si
gadis berusaha menuruti saran papah Erna.
Sejak TK, SD, hingga SMP
si gadis tidak pernah membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan sudah dibayar
oleh seseorang yang memang mampu dan berbaik hati untuk membiayai si gadis. Si
gadis memang sudah menunjukan kecerdasannya dan orang kaya tersebut akan merasa
bangga dan puas bisa membantu si gadis. Mereka tahu kehidupan si gadis yang
serba kekurangan tapi masih mau bekerja keras untuk membantu orang tuanya
berjualan di antara jam sekolah dan jam bermain sebagai anak-anak.
Baginya sekolah adalah tempat yang paling
menarik untuk menghabiskan masa kecilnya. Agama adalah kepercayaan yang
tidak bisa dibeli walaupun dia berada di lingkungan yang tidak seagama denganya sedari kecil karena dia bersekolah dari TK hingga SMP di sebuah Yayasan Agama yang tidak seagama dengan si gadis tersebut.
Mereka para donatur pendidikan yang membiayainya juga berbeda agama namun
sedikitpun tidak pernah menyentuh masalah agama yang si gadis dan keluarganya
anut. Mereka hanya beritikad membantu si gadis karena memiliki kepekaan yang
tinggi dengan permasalahan sosial. Membantu tidak harus melihat apa agama dan
etnis orang yang dibantunya. Itulah yang sudah mereka lakukan terhadap si gadis
hingga bisa mengeyam pendidikan sampai SMP di yayasan tersebut.
Kesempatan belajar
dengan bantuan biaya pendidikan bagi si gadis pun harus berakhir di kelas dua
SMP. Bukan karena sang donatur keberatan untuk melanjutkan pembiayaan si gadis.
Namun karena si gadis mendapatkan tawaran untuk hijrah ke sebuah kota di Jawa
Tengah.
“Nok, kalau kamu mau
sekolahmu lanjut, Bapak ada kakak di Jawa Tengah. Namanya Pakdhe Byakto. Dia seorang
guru SMA di Purwokerto. Pakdhe dan budhe Byakto itu tidak punya anak. Kalau
kamu mau, Bapak bisa antar kamu ke sana,” Sang bapak menarik nafas dalam-dalam
seolah ingin menelan kembali kata-kata yang sudah dikeluarkannya.
Mendengar kata Jawa
Tengah si gadis langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang ada di otaknya
‘Jawa Tengah’ sangat identik dengan pendidikan. Hampir delapan puluh persen
guru-gurunya di Indramayu berasaal dari Jawa Tengah. Impiannya untuk bisa
bersekolah lanjut di Jawa Tengah sudah mampu mengalahkan segalanya. Semua
kehangatan kampung halamannya, kedekatan Ayah dan Ibunya, Kakak dan adiknya,
sekolahnya dan tentunya Erna sahabatnya. Si gadis bertekad untuk merantau ke
Jawa Tengah dan bersekolah di sana. Dia begitu yakin bahwa masa depannya harus
dia rajut di sana. Aku mau belajar di kota pendidikan di Jawa Tengah itu sudah
menjadi tekadnya kalaupun dia harus mengorbankan perasaannya untuk berpisah
dengan semua orang-orang terdekatnya. Mimpi itu harus dikejar dan
diperjuangkan.
Hingga pada suatu malam
di tengah hujan di mana dia harus menangis sejadi-jadinya karena harus berpisah
dengan sang Bapak yang mengantarkannya ke rumah Pakdhe dan Budhenya yang belum
dia kenal sebelumnya. Jawa Tengah sudah menjadi tempat yang dia cita-citakan
untuk melanjutkan pendidikannya. Deraian air mata dan air hujan menyatu dan
menjadi saksi tekadnya untuk belajar dan meraih cita-cita si gadis kecil itu. Dan, si
gadis pejuang itu kini telah berubah menjadi gadis dewasa yang mandiri, smart dan penuh percaya diri yang sedang duduk sambil berkaca-kaca di sebelahku.
Semangat dan selamat berjuang di kehidupanmu selanjutnya gadis...
BalasHapusTerimakasih atas supportnya Ibu ..🙏
Hapus