Sabtu, 08 Mei 2021

Cerpen: Gadis Kecil Penjaja Kerupuk

 



Aku terkesima ratusan kali mendengarkan dia bercerita malam itu di atas becak sepanjang jalan Sudirman. Waktu itu kalau tidak salah sekitar tahun 1995. Dia berkisah tentang perjuangan seorang gadis kecil yang ingin menggapai masa depannya dengan segala keterbatasan dan membuatnya menjadi semakin dewasa dan mengerti betapa hidup perlu diperjuangkan. Sambil berkaca-kaca dia terus berkisah;

Genangan air berwarna hitam dari got-got mampet yang berada di samping kiri dan kanan di antara rumah-rumah yang berhimpitan sangatlah berbau busuk dan menusuk. Gadis itu berjalan terseok diantara bau busuk itu sambil beringsut menyeka keringatnya yang berusaha mengalir ke pelipisnya dan seperti tanpa mempedulikan dan tetap membiarkan bau itu keluar masuk hidungnya. Got-got itu adalah masalah klasik yang tak terlalu menjadi soal yang perlu penanganan serius bagi masyarakat di sana. Sarang nyamuk itu pun tak begitu mengganggu kehidupan mereka. Mereka lebih suka melakukan hal-hal praktis seperti mengoleskan lotion anti nyamuk ke bagian tubuhnya ketimbang harus membereskan saluaran air yang sudah menjadi sarang nyamuk itu.

Berulang kali pula gadis kecil itu menyibakkan rambutnya yang terurai seleher dan bagian atasnya mulai memerah karena terbakar panasnya matahari kota Indramayu. Tangannya yang mungil menjinjing wadah yang penuh dengan jajanan dan siap ditawarkan ke orang-orang sepanjang lorong gang. Beberapa ibu di depan rumahnya berusaha memanggilnya untuk membeli jualan titipan yang dibawanya. Senyumnya mulai mengembang diantara peluhnya ketika barang dagangannya mulai dibeli. Harapan untuk mendapatkan uang jajan hari itu akan terpenuhi ketika dia berhasil menjual semua dagangan titipan hari itu. Dua ribu lima ratus rupiah merupakan uang yang cukup untuk membuatnya bahagia. Orang tuanya yang hidup dengan segala keterbatasan membuat dia bekerja keras demi memenuhi keinginan yang sangat lumrah bagi seorang anak kecil yaitu jajan.

Bagi dia harga sebuah makanan kecil atau jajan harus ditukar dengan bekerja keras. Setidaknya hal itu bisa diperoleh jika mau membantu sang ibu berjualan kerupuk. Dia harus berjalan menyusuri kampung, jalan raya, pasar, sekolahan, mushola, dan stasiun kereta. Kadang dia harus menunggui jualannya di depan mushola sambil ikut mengaji dari luar. Kesempatan mengaji dia lakukan sambil berjualan.

Selain menjajakan dagangan titipan atau jualan kerupuk ibunya, dia juga harus berkorban waktu paginya sebelum jam sekolah dimulai. Setiap pagi dia berusaha berangkat sepagi mungkin demi teman terbaiknya. Si gadis pun harus berangkat lebih pagi untuk berangkat ke sekolah bersama dengan teman dekatnya, Erna. Bahkan dia berusaha sampai rumah temannya itu sebelum dia terbangun. Di sana, gadis kecil itu akan mendapatkan sarapan pagi setiap kali mengajak teman terbaiknya itu berangkat sekolah. Walaupun itu bukan tujuan, tapi karena niat baiknya itulah dia mendapatkan balasannya.

Erna anak orang yang serba kecukupan. Papahnya seorang bisnis yang lumayan. Si gadis hanya merasa heran terhadap anak seperti Erna. Betapa hidangan sarapan pagi yang menurut si gadis itu sangat mewah dan enak. Namun Erna sendiri enggan memakannya. Apa sebenarnya yang terjadi di dunia ini begitu terbalik. Erna yang sedemikian orang tuanya memperhatikan dan mampu memberikan sarapan enak malah tidak bisa menikmatinya. Si gadis yang ingin sekedar menikmati sarapan seadanya pun kadang orang tuanya tak mampu menyediakannya.

Si gadis juga punya rasa malu. Sering kali dia menolak untuk sarapan di rumah Erna, namun papahnya selalu memaksanya. Mereka adalah orang kaya yang baik hati.

“Ayo Nong sarapan!” begitu dia memanggil si gadis.

“Udah Bah! Saya sudah makan,” jawab si gadis sopan. Si gadis memanggil papah Erna dengan panggilan Babah sebagaimana umumnya masyarakat memanggilnya ‘Babah’ untuk sebutan ‘Bapak’ bagi orang keturunan Tionghoa.

“Ayolah! Biar Erna ikut makan! Si Erna itu susahnya minta ampun kalau suruh makan!” begitu papah Erna berkeluh merasa khawatir.

“Iya Bah,” jawab si gadis berusaha menuruti saran papah Erna.

Sejak TK, SD, hingga SMP si gadis tidak pernah membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan sudah dibayar oleh seseorang yang memang mampu dan berbaik hati untuk membiayai si gadis. Si gadis memang sudah menunjukan kecerdasannya dan orang kaya tersebut akan merasa bangga dan puas bisa membantu si gadis. Mereka tahu kehidupan si gadis yang serba kekurangan tapi masih mau bekerja keras untuk membantu orang tuanya berjualan di antara jam sekolah dan jam bermain sebagai anak-anak.

Baginya sekolah adalah tempat yang paling menarik untuk menghabiskan masa kecilnya. Agama adalah kepercayaan yang tidak bisa dibeli walaupun dia berada di lingkungan yang tidak seagama denganya sedari kecil karena dia bersekolah dari TK hingga SMP di sebuah Yayasan Agama yang tidak seagama dengan si gadis tersebut. Mereka para donatur pendidikan yang membiayainya juga berbeda agama namun sedikitpun tidak pernah menyentuh masalah agama yang si gadis dan keluarganya anut. Mereka hanya beritikad membantu si gadis karena memiliki kepekaan yang tinggi dengan permasalahan sosial. Membantu tidak harus melihat apa agama dan etnis orang yang dibantunya. Itulah yang sudah mereka lakukan terhadap si gadis hingga bisa mengeyam pendidikan sampai SMP di yayasan tersebut.

Kesempatan belajar dengan bantuan biaya pendidikan bagi si gadis pun harus berakhir di kelas dua SMP. Bukan karena sang donatur keberatan untuk melanjutkan pembiayaan si gadis. Namun karena si gadis mendapatkan tawaran untuk hijrah ke sebuah kota di Jawa Tengah.

“Nok, kalau kamu mau sekolahmu lanjut, Bapak ada kakak di Jawa Tengah. Namanya Pakdhe Byakto. Dia seorang guru SMA di Purwokerto. Pakdhe dan budhe Byakto itu tidak punya anak. Kalau kamu mau, Bapak bisa antar kamu ke sana,” Sang bapak menarik nafas dalam-dalam seolah ingin menelan kembali kata-kata yang sudah dikeluarkannya.

Mendengar kata Jawa Tengah si gadis langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang ada di otaknya ‘Jawa Tengah’ sangat identik dengan pendidikan. Hampir delapan puluh persen guru-gurunya di Indramayu berasaal dari Jawa Tengah. Impiannya untuk bisa bersekolah lanjut di Jawa Tengah sudah mampu mengalahkan segalanya. Semua kehangatan kampung halamannya, kedekatan Ayah dan Ibunya, Kakak dan adiknya, sekolahnya dan tentunya Erna sahabatnya. Si gadis bertekad untuk merantau ke Jawa Tengah dan bersekolah di sana. Dia begitu yakin bahwa masa depannya harus dia rajut di sana. Aku mau belajar di kota pendidikan di Jawa Tengah itu sudah menjadi tekadnya kalaupun dia harus mengorbankan perasaannya untuk berpisah dengan semua orang-orang terdekatnya. Mimpi itu harus dikejar dan diperjuangkan.

Hingga pada suatu malam di tengah hujan di mana dia harus menangis sejadi-jadinya karena harus berpisah dengan sang Bapak yang mengantarkannya ke rumah Pakdhe dan Budhenya yang belum dia kenal sebelumnya. Jawa Tengah sudah menjadi tempat yang dia cita-citakan untuk melanjutkan pendidikannya. Deraian air mata dan air hujan menyatu dan menjadi saksi tekadnya untuk belajar dan meraih cita-cita si gadis kecil itu. Dan, si gadis pejuang itu kini telah berubah menjadi gadis dewasa yang mandiri, smart dan penuh percaya diri yang sedang duduk sambil berkaca-kaca di sebelahku.

 

Previous Post
Next Post

An English teacher of SMA Puhua Purwokerto who wants to share every moment in life.

2 komentar:

  1. Semangat dan selamat berjuang di kehidupanmu selanjutnya gadis...

    BalasHapus