Minggu, 16 Mei 2021

Mengapa Covid19 Harus Singgah ke Rumahku?


Awal Ramadan seharusnya hadir begitu indah diwarnai dengan wajah sumringah karena kami dapat beribadah dengan penuh barokah. Tetapi tidak untuk Ramadan kali ini. Hari pertama datangnya Ramadan, waktu itu tanggal 13 April 2021, merupakan hari kedua kami berempat sedang menjalani isolasi mandiri setelah sehari sebelumnya kami menjalani tes PCR di puskesmas setempat. 

Semula berawal dari tanggal 3 April, anak ketiga kami mengeluh panas yang diikuti tenggorokan sakit. Kami belum berfikiran untuk ke dokter, Kami masih berusaha untuk membelikan obat turun panas. Beberapa hari kemudian kakaknya mengikuti jejak sang adik dengan gejala yang sama. Hari Selasa keduanya kami bawa ke klinik, dan diberikan obat lengkap. Selama masa pengobatan, kondisi anak tidak semakin membaik. Kepala sering pusing dan badan lemas. Dengan terpaksa dia sering meninggalkan zoom meeting kelas online dan banyak tugas tidak tersentuh. Pernah dia menangis di depan laptop dan memukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. Ketika aku tanya dia malah semakin keras tangisannya. Rupanya dia stress karena memaksakan diri untuk bisa sekolah tetapi kondisi fisik tidak mendukung.

Keesokan harinya, Kamis, 8 April, giliran istriku harus dibawa ke klinik juga. Batuk dan kepala pusing serta badan nggreges mulai melanda tubuhnya. Bertiga mereka harus menjalani pengobatan dengan gejala yang hampir sama. Keluhan demi keluhan mulai dirasakan. Lemas dan tidak bisa membaui dan merasakan enaknya masakan. Kami curiga. Jangan-jangan Covid19 sudah mampir ke rumahku. 

Dengan kondisi ini, kami merasa perlu untuk mengetahui apakah kami benar-benar dalam pengaruh Covid19?  Virus yang sedang viral dan ditakuti oleh semua orang sedunia. Tidak tanggung-tanggung, sedunia. Hingga semua negara percaya bahwa Covid19 memang benar-benar ada dan berbahaya. Sudah ratusan jiwa melayang gara-gara Covid. Lalu, apakah kami juga harus kecipratan virus ini juga, yang nantinya bisa merenggut nyawa kami? Ah, tidak! Ini pasti bukan si Covid.

Tetapi jawaban teman dokter kami ketika kami bertanya tentang hal ini, telah mengantarkan kami untuk bertandang ke puskesmas. Dia menyarankan kami untuk segera diswab. Malam itu kami serumah tidak bisa tidur. Anak ketiga kami sempat panik dan akan dibawa ke rumah sakit karena mengeluh macam-macam dan tidak mau makan. Tapi kami masih bertahan untuk besok saja diperiksanya. Kenapa ke puskesmas, karena kalau memang benar anakku harus diswab, tentunya kami kesulitan untuk pendanaannya, kalau harus bayar tes PCR secara mandiri di rumah sakit swasta. 

Sabtu, 10 April, kami mencoba untuk memeriksakan dan meyampaikan keluhan anak ketiga kami tersebut. Di mana semalam sebelumnya aku pun mulai ada gejala batuk. Setelah sampai di Puskesmas, kami bukannya diperiksa, tatapi hanya  diberikan bebeapa pertanyaan, dan dari jawaban-jawaban kami, petugas berkesimpulan bahwa kami berempat sekeluarga harus diswab pada hari Senin 12 April. Untuk pendataan dan pendaftaran, disampaikan akan ada petugas yang menghubungi nomor WA kami. 

Kami sempat berfikir dan mengeluhkan beberapa hal sementara kondisiku sudah mulai batuk, dan yang lainnya masih bergejala yang sama. Kenapa harus hari Senin, pikir kami. Tapi kami masih berfikir beberapa kemungkinan diantaranya petugas swab yang tidak setiap saat ada, apalagi ini hari Sabtu, yang hanya buka sampai jam sebelas.

Hari Senin, kami berangkat ke Puskesmas dengan rute masuk puskesmas seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, yaitu masuk melewati pintu gerbang samping Puskesmas. Kami sudah mulai berfikir buruk pada diri kami sendiri. Mungkin memang sudah seharusnya begini kalau orang yang dianggap memiliki penyakit menular akan semakin dibatasi untuk berinteraksi dengan orang lain. Tapi kami juga sadar kalau memang benar kami terpapar, bukannya kami juga tidak seharusnya menjadi agen penyebaran virus juga.

Kami diswab bergantian, ada juga pasien lain. Selesai swab, kami diberikan surat keterangan untuk isolasi mandiri selama empat belas hari. Surat tersebut tentunya sangat penting sebagai dasar untuk berbagai keperluan. Pertama, kami harus menginformasikan kondisi kami ke lingkungan setempat (RT) atau ke instansi/sekolah di mana kami harus bekerja. Dalam ketegangan di masa menunggu hasil swab, kami berusaha untuk menenangkan anggota keluarga dan tetap tenang menghadapi ini. Kami berdoa dan kami tetap yakin bahwa virus yang kami alami ini virus biasa dan kami akan terlepas dari kungkungan isolasi mandiri.

Keesokan harinya, kami berusaha menghubungi petugas puskesmas namun belum juga ada hasil. Kami harus bersabar hingga Kamis pagi. Kabar yang kami tunggu-tunggu itu pun datang. Pesan WA dari petugas puskesmas yang tidak kami harapkan pun harus kami terima saat itu juga. Kami berempat semuanya positif terpapar Covid19. Kami semua diam dan membeku sambil merenungi berbagai hal.

Dalam perenungan itu ada semacam rasa berdosa sehingga anak-anak kami ikut menderita karena Covid. Kami para orang tua yang setiap hari harus mobile ke luar rumah, bekerja, mencari keperluan sehari-hari, atau bahkan harus bertemu orang untuk urusan pekerjaan dan lain-lain. Kami menduga-duga bahwa kami berdua lah yang menjadi agen virus yang menulari anak-anak yang hampir tidak pernah ke mana-mana selama masa pandemi ini.

Sempat juga istriku berburuk sangka sama vaksin yang disuntikan ke tubuhnya pada Selasa, 6 April, dan itu merupakan vaksin yang kedua. Waktu itu dia dalam kondisi tidak begitu fit, dan menurut penilaiannya sendiri justru virus itu berasal dari vaksin tersebut. Ah, itu juga baru merupakan analisa sederhana dalam suasana hati yang baper karena perasaan berdosa tadi.

Lalu siapa yang membawa virus ke rumah? Apakah tiba-tiba saja virus yang beterbangan di udara dan masuk ke hidung atau mulut kami saat berjalan atau naik kendaraan? Atau mugkin melalui benda-benda yang kami sentuh di tempat-tempat umum? Atau memang langsung ditularkan oleh seseorang yang kebetulan tanpa sadar bertemu dengan kita? Semua itu selalu menjadi pertanyaan kita di saat-saat seperti ini. Tetapi bukannya kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan baik ketika bekerja dan kemanapun kami beraktifitas? Cuci tangan, pakai masker, jaga jarak, semua semaksimal mungkin kami lakukan. Hingga akhirnya kami semakin merasa berdosa pada anak-anak kami yang selama sekolah online ini tidak pernah pergi ke mana-mana sedangkan kami berdualah yang masih beraktifitas ke luar rumah. Entah melalui apa pun  sangatlah mungkin jadi agen pembawa virus ke rumah kami sendiri. Kami semakin merenung dan bersedih. Sepertinya, kami tidak bisa memaafkan diri kami sendiri.

Pada intinya, tidaklah mudah bagi kami untuk begitu saja menerima hasil ini. Walaupun kami semua bergejala namun kondisi kami masih tergolong baik. Kami masih bisa makan walau tidak enak, karena tidak bisa merasakan makanan dan aroma masakan. Kami masih pusing batuk dan lemas. Yang masih jadi pemikiran kami, mengapa virus viral itu harus singgah ke rumahku, menyerangku, istri dan anak-anakku? Lalu, apa yang harus kami lakukan di dalam rumah hingga empat belas hari ke depan setelah tanggal 12 itu? Siapa yang akan memenuhi kebutuhan sehari-hari kami ketika persediaan bahan makanan telah habis?

Dalam kegelapan pikiran itu, kami teringat karena masih ada anak pertamaku yang tidak mengalami gejala apa-apa seperti kami berempat, yang artinya dia masih aman untuk sekedar ke luar rumah dan disuruh beli bahan makanan atau keperluan lain. Tetapi pemikiran itu pun tidaklah lama, karena tiba-tiba ada pesan dari petugas puskesmas, bahwa semua anggota keluarga yang ada di rumah harus menjalani swab juga. Besoknya, 16 April anak pertama kami diswab, dan itu artinya tidak ada lagi seseorang yang bisa keluar rumah untuk sekedar beli keperluan sehari-hari khususnya bahan makanan. Mulai hari itu lengkap sudah kami serumah diisolasi mandiri. 

Akhirnya kekhawatiran kami mulai terjawab setelah ada pesan dari petugas puskesmas yang mengabarkan bahwa akan ada petugas dari pihak kelurahan untuk mengantar sembako. Lalu, beberapa rekan kerja, teman, dan warga setempat dan kantor yang sudah mengetahui keberadaan kami mulai berdatangan mengirimkan berbagai keperluan dari makan, alat kebersihan, makanan kering dan basah. Mereka berdatangan hingga ke depan gerbang pintu rumah. Kami hanya bisa mengucap terimakasih sambil melambaikan tangan dari dalam rumah. Banyak yang menawarkan jasa untuk keperluan kami agar jangan sungkan menghubungi dan banyak yang siap membantu. Kami hanya bisa mengucap syukur dan berdoa atas kebaikan semua pihak.

Kami tidak hanya merenungi nasib hingga Covid19 itu semakin betah di rumah kami. Kami melakukan berbagai upaya peningkatan imun. Selain minum obat dan vitamin, kami berusaha untuk makan bergizi, berjemur, dan hal lain yang kami lakukan selama Covid19 bersarang di rumah kami. Kami juga tetap bersyukur sehingga ibadah di bulan Ramadan ini tetap bisa kami lakukan semampu kami walaupun hanya di rumah saja. Beberapa kali kami mencoba untuk berpuasa, namun kami membutuhkan banyak cairan sehingga sering gagal puasa karena batuk yang mendera juga. Tentunya kami juga berusaha untuk tetap berfikir positif dengan keadaan kami ini walaupun tidaklah mudah. 

Hingga empat belas hari pun berlalu, sebagian gejala masih kami rasakan. Terutama aku sendiri batuk dan sesak nafas justru semakin menggila. Kami pun berusaha menghubungi teman dokter kami dan juga puskesmas. Semua obat dari puskesmas kami sampaikan jenisnya ke teman dokter kami. Kami masih disarankan untuk tetap mengkonsumsi obat tersebut karena menurut teman dokter kami juga cukup baik. Karena kondisi kami masih belum bisa dikatakan sembuh total, maka kami belum diberikan surat bebas isolasi, dan menurut sarannya kami harus menunggu beberapa hari lagi, hingga tanggal 30 April baru kami mendapat surat tersebut. Itu artinya kami sudah boleh beraktifitas seperti semula walaupun beberapa gejala masih ada dan aku pun masih sering batuk. 

Banyak pihak yang bertanya, kenapa tidak diswab ulang sehingga tahu persis bahwa kami sudah negatif dan tidak berbahaya bagi orang lain. Kami pun serumah bertanya tentang hal itu. Kami tidak dapat menolak karena memang mungkin itu sudah menjadi kebijakan pihak puskesmas untuk tidak melakukan swab kedua bagi kami. Kami mendapat informasi bahwa memang tidak ada swab kedua, dan menurut informasi dari puskesmas bahwa setelah empat belas hari, virus sudah melemah dan tidak akan menular. Kami tidak tahu persis apakah memang betul seperti itu, kami hanya pasrah dan akhirnya harus menerima surat bebas isolasi mandiri tersebut setelah delapan belas hari masa isolasi mandiri. Kami mengirimkan surat keterangan bebas isolasi tersebut ke pimpinan di instansi kami masing-masing. Sementara aku mendapat perpanjangan WFH hingga dua hari ke depan dan begitu pula istriku. 

Hari pertama aku masuk kerja, aku masih mengisolasikan diri di sebuah ruang kelas di lantai tiga dan tak seorangpun yang aku harus temui. Secara formal aku berangkat kerja, tapi tak seorang pun aku temui selama dua hari aku bekerja. Aku pergi ke toilet ketika lorong ruangan terlihat sepi, dan aku pun sholat di ruang tersebut. Hingga aku catat semua barang yang pernah aku pegang dan tempat mana saja yang aku singgahi. Mungkin aku berlebihan tapi itulah yang aku harus lakukan. Hal ini tentunya akan sangat penting aku lakukan untuk mengobati sakitku dan juga mentalku yang kadang down dengan kondisi ini. Mungkin virus ini sudah pergi dari tubuhku, namun rasa takut bertemu orang masih tetap ada. Kadang memang bukan dari diriku sendiri, orang yang hendak menemuiku pun serasa canggung dan berusaha menghindar atau memberikan jarak. Aku sadar dan maklum betul dengan kondisi ini. Dan aku harus berbesar hati walau terasa sedikit sakit. 

Lain halnya dengan istri, begitu hari pertama kali masuk kantor, dia langusng di tempat seperti biasa, tidak ada isolasi di tempat kerja. Namun apa yang dia rasakan sungguh menyiksa. Entah itu datangnya dari diri sendiri maupun dari orang lain sama seperti aku. Dia menyaksikan beberpa teman sengaja menghindar ketika berjalan melewatinya. Tanpa harus menghindar pun, dia sadar sendiri bahwa sebenarnya semuanya tampak tidak nyaman. Dia juga berkehendak untuk isolasi di tempat kerja, namun tidak memungkinkan, selain membutuhkan tempat juga, banyak berkas pekerjaan yang harus dia mintakan tandatangan dan koreksi. Itulah yang menyulitkan.

Dari pengalaman bergelut melawan Covid19 yang rupanya harus mampir ke rumahku itu, kami tak henti-hentinya tetap bersyukur atas segala nikmat Allah yang luar biasa ini. Kami semuanya masih dalam lindungan Allah dan masih diberikan nikmat hidup. Mudah-mudahan kami tetap bisa bersyukur dan beribadah untuk menebus bulan Ramadan tahun ini yang tidak banyak yang bisa kami lakukan. Bulan penuh rahmat yang selalu kami nanti setiap kehadirannya. Kami menganggap ini sebuah ujian yang patut kami syukuri karena pada akhirnya kami telah mampu melewati masa pahit itu. Doa kami juga semoga Covid19 ini tidak perlu mampir ke rumah teman-teman kami yang sudah berbaik hati dan tidak perlu singgah ke rumah sisapapun juga. Walaupun kami sudah putus hubungan sama Covid19, namun tidaklah enak untuk menyandang gelar si mantan Covid ini. Serasa aib telah menghinggapi perasaan kami yang sangat lemah menghadapi cobaan ini.  Kini Ramadan telah berlalu dan berlalulah Covid19 dari muka bumi ini.

Mengenang Covid19 yang sempat mampir ke rumah kami di bulan Ramadan.

#parenting
#covid19


Previous Post
Next Post

An English teacher of SMA Puhua Purwokerto who wants to share every moment in life.

12 komentar:

  1. Pengalaman ya pak. Mudah2an imun nya semakin kuat pak dan covid menjauh dari kita. Yang sakit justru tekanan pshikisnya ya. Semangat pak dan tetap jaga kesehatan, biar covid tak mampir lgi.

    BalasHapus
  2. Barokallah, tetap bersyukur saja ya pa Aryo. Mungkin itu cara Allah menyampaikan pesan. Ambil hikmah di balik mampirnya si Covid ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah Pak Yons, betul sekali. Allah memberikan jalan yang berbeda agar kami semakin kuat dan semakin beriman.

      Hapus
  3. Ya ALLOH Gir, sabar yah smg cpt sehat dan smg ALLOH melindungimu sekeluarga Gir Aamiin

    BalasHapus
  4. Deneng pada karo inyong mas. Aku pas nisfu sya'ban, divonis positif covid, setelah istriku terpapar duluan. Apa yg dirasa njenengan persis kaya yg aku rasakan. Alhamdulillah ujian selesai pas awal ramadhan. Istri isolasi 20 hari, saya 14 hari.

    BalasHapus
  5. Jiayou, Mr G! Tetap waspada dan tetap disiplin prokes. Glad to hear you and your family are fine now.

    BalasHapus