Sabtu, 22 Mei 2021

Menjadi Guru : Cita-cita, Kebetulan, atau Panggilan?



Menjadi guru! 

Mengapa aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Aku pun tak tahu alasannya waktu itu ketika kelas VI SD di tahun 1986 aku ditanya guruku tentang cita-citaku. Aku seperti asal menjawab dan memang saat itu aku belum tahu tentang apa itu cita-cita dan akan menjadi apa nanti saat dewasa aku pun tak tahu.

Walaupun tampak samar, mungkin inilah alasannya. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi presiden, pilot, dokter, polisi atau yang lainnya seperti jawaban teman-temanku.

Yang aku tahu waktu i
tu guru bisa mengajari aku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, berbicara sopan, masuk kelas tepat waktu, berbuat jujur dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga.

Walupun berjalan sangat lambat dan tanpa disangka-sangka perjalanan hidupku rupanya membawaku hingga menjadi guru. Dari lulus SD di tahun 1986, masuk SMP dan lulus tahun 1989, istirahat satu tahun baru masuk SMA dan lulus tahun 1993, dan setelah pontang-panting selama delapan tahun hingga menikah dan punya anak satu baru berksempatan melanjutkan S1 di tahun 2001 dan lulus tahun 2005. Mulai tahun inilah aku menjadi guru honorer di sekolah negeri. Dari sinilah karirku menjadi guru dimulai. 
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku untuk meniti karir menjadi guru. Selama waktu itu pula aku masih bangga menyandang status guru honorer di sebuah SMA Negeri. Sedangkan umurku waktu itu sudah hampir mendekati 40 tahun atau orang sering menyebutnya sudah kepala empat.
Banyak hal yang sering menggelayut indah di pikiranku. Tiga anak-anaku sudah semakin besar dan tentunya biaya pendidikan yang besar tidak dapat dielakan lagi. Waktu itu anak terbesarku sudah masuk SMA, sedangkan 2 adiknya masih di SD.
Pernah aku membaca pepatah bahwa “Life begins at forty”. Pepatah ini terus menggelitik di telingaku dan menghantuiku. Karena aku sadar di usiaku itu karirku masih bisa dibilang sangatlah belum mapan. Tidak perlu dijelaskan berapa gaji guru honorer, semua sudah bisa menebaknya. Aku hanya murni menjadi guru dan kebutuhan semakin menghimpit.
Kegundahanku semakin terasa menyesak dada hingga akupun akhirnya tidak sanggup menahan perasaan ini sendirian. Seorang yang paling bisa mengerti akupun kuajak bicara dan rupanya dia dapat mengerti perasaanku. Apakah aku harus selamanya menjadi guru honorer di sekolah negeri hingga pensiun, sementara umurku sudah hampir empatpuluh tahun dan masa untuk bisa menjadi guru PNS sudah tidak ada kesempatan lagi? Memang istriku tidak pernah menuntutku untuk menjadi PNS tetapi aku sendiri merasa sebagai seorang sarjana pendidikan setidaknya bisa memiliki penghasilan lebih sesuai ijazahku dibandingkan jika hanya menjadi guru honorer. .
Kami berdua membicarakan hal ini hingga larut malam. Pembicaraanpun semakin mendalam dan kamipun larut dalam pembicaraan masa lalu yang masih terkenang-kenang.
Istriku mengingatkan masa dulu pertama kali bertemu. Aku hanya seorang lulusan SMA dan bekerja menjadi kepala administrasi di sebuah grup perusahaan photo studio dan video shooting. Sedangkan istriku seorang pengajar bahasa Inggris di sebuah lembga kursus. Kami saling kenal di sebuah seminar kemudian saling cocok hingga setahun kemudian memutuskan menikah.
Sungguh sangat malang nasib istriku. Di awal pernikahan di tahun 1998, Negara kita ini sedang mengalami kekacauan politik dan krisis moneter yang sangat parah. Harga rupiah waktu itu mencapai Rp. 18.000 per dollar Amerika. Banyak perusahaan yang bangkrut dan mem-PHK-kan karyawannya termasuk perusahaanku. Semua karyawan di PHK termasuk aku tanpa pesangon yang memuaskan. Sehingga selama menjadi istri di awal pernikahan kami, dia hanya tiga kali menerima gajiku. Selanjutnya aku harus menganggur dan pekerjaan baruku adalah mencari lowongan pekerjaan.
Tidak hanya istriku. Kasihan juga anak pertamaku yang baru memasuki bulan pertama di rahim sang ibunya. Dia harus kekurangan nutrisi karena saat itu aku harus menghemat uang pesangon yang masih tersisa. Seharusnya masa awal pernikahan kami menjadikan masa yang membahagiakan dengan kehamilan anak pertama yang ditunggu-tunggu sebagai hasil cinta.
Nasib memang menyedihkan tetapi the show must go on. Aku tidak mungkin berpangku tangan hanya menghabiskan sisa pesangon yang tak seberapa. Lamaran pekerjaan melayang ke mana-mana di saat banyak perusahaan sedang mengurangi karyawannya. Sangat sulit rasanya waktu itu untuk bisa mendapatkan panggilan wawancara kerja.
Dari sales door to door, Multi Level Marketing, jualan kelilingan pun aku lalui dengan penuh suka cita. Namun hasilnya tidaklah seberapa. Ketika aku tidak mampu menjual barang sesuai target, penghasilanku pun tidak menentu. Untuk memenuhi kebutuhan di masa itu kami mulai berani berhutang sana-sini hingga aku memutuskan untuk mencoba mendaftar jadi TKI di luar negeri. Namun tuhan menghendaki lain karena kondisi kesehatanku tidak memungkinkan dan akhirnya akup un tidak lolos seleksi.
Kami terus mengenang masa lalu itu. Sekarang aku harus bersyukur dengan kondisi ini. Dengan keagungan Tuhan dan  karena tangan-Nya lah nasib kami bisa berubah. Istriku menjadi seorang PNS walaupun hanya golongan 2. Aku pun bisa melanjutkan kuliah hingga lulus dan menjadi seorang guru. Kenikmatan apa lagi yang harus aku pungkiri yang telah diberikan oleh Tuhan.
 Ternyata banyak hal membanggakan yang aku dapatkan selama menjadi guru. Setiap pagi anak-anak datang menghampiriku dan melakukan ritual 3 S (senyum, salam, dan sapa) sambil berjabat tangan. Ketika di kelas, aku menjadi orang nomor satu yang menjadi pusat perhatian. Di sana aku harus bisa menjadi seorang yang memiliki sumber ilmu yang siap untuk dibagikan. Aku harus bisa jadi teman curhat mereka ketika mendapat kesulitan atau ada masalah. Di kelas aku harus bisa menjadi seorang aktor yang mampu ber-acting untuk menarik perhatian mereka ketika mereka sudah mulai lelah dan bosan. Aku juga harus bisa menjadi pengganti orang tua mereka yang bijak dan selalu mengingatkan mereka ketika sikap dan perilaku sudah melewati batas kesopanan. Dan masih banyak lagi yang membuatku tetap merasa bangga dengan profesi ini.
Pembicaraan kami berlanjut namun belum mendapatkan keputusan apa-apa. Pembicaraan hanya seputar perjalanan mas lalu yang tentunya menjadi pengingat bahwa bagaimanapun juga keadaan ini lebih baik. Menurut pendapat istri, hingga pensiun tetap menjadi guru honorer di sekolah negeri bukanlah hal yang perlu disesalkan. Tetapi kalau hal ini sangat menyiksa diriku, maka perlu diputuskan solusi lain.
Begitu bijaksananya sang istri hingga aku pun harus kembali merenung. Dan akhirnya aku tidak mampu memutuskan apa-apa selain tetap harus menjalaninya sampai pembicaraan serius inipun terhenti.
Hingga suatu saat di awal tahun 2014,  ada kebijakan mengenai kurikulum 2013 yang harus secara serentak diberlakukan di semua sekolah. Di situ, posisiku adalah salah seorang yang harus siap kehilangan jam mengajar. Karena ternyata jam perminggu di SMA untuk mapel bahasa  Inggris berkurang menjadi 2 jam. Alhasil, jumlah jam yang ada hanya cukup diberikan kepada yang berhak yaitu guru PNS.
Aku sadar sepenuhnya kalau perjuanganku selama 9 tahun di SMA negeri tersebut harus aku akhiri. Sedikitpun aku tidak akan menyesal kalau aku harus kehilangan pekerjaan sebagai guru di sekolah tersebut. Tetapi kehilangan momen berbagi ilmu dan mendidik anak-anak adalah hal yang paling mendasar  yang tidak bisa dilupakan dalam waktu singkat.
Adalah sang istri yang bisa menjadi tumpuanku di saat aku sedang galau. Kami pun kembali mengadakan rapat empat mata untuk mendiskusikan masalah yang dulu pernah dibahasnya. Istriku terus memberi semangat dengan mengusulkan berbagai macam alternatif.  
Hingga akhirnya aku harus benar-benar memutuskan untuk resign dari sekolah negeri tersebut. Di luar sana masih banyak sekolah yang membutuhkan sosok guru seperti aku kata istriku membuatku semakin yakin. Dan benar juga, tak lama setelah itu, panggilan wawancara, tes tulis, dan micro teaching pun aku lalui hingga akhirnya aku benar-benar menjadi bagian dari guru di sekolah tersebut.
Status guru honorer di sekolah negeri sudah tidak aku sandang lagi. Statusku berubah menjadi guru yayasan. Apapun statusku dulu maupun sekarang bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Berapapun gajiku dulu maupun sekarang bukanlah ukuran yang bisa menjamin kebahagiaan dan kepuasan. Yang terpenting bagiku adalah aku telah diberi kesempatan untuk menjadi guru. Tidak semua orang bisa merasakan betapa bangganya menjadi guru. Ketika di suatu waktu bertemu seorang yang telah sukses dan dia mengaku pernah menjadi muridku di masa lalu, kebagahiaan inilah yang singgah di dadaku. Momen ini yang sering aku rasakan hingga kepuasan batin ini tidak mungkin aku dapatkan seandainya aku tidak menjadi guru.
Mungkin semua sudah menjadi rencana-Nya dan semua perjuangan dan pengalaman masa lalukulah yang mampu mendewasakanku. Banyak hal yang tidak dapat dipungkiri dan banyak hal yang harus aku syukuri.
Previous Post
Next Post

An English teacher of SMA Puhua Purwokerto who wants to share every moment in life.

5 komentar:

  1. Kisah perjalanan seorang guru yang sungguh menginspirasi pak.

    BalasHapus
  2. Kisah Bapak luar biasa, tetap bersyukur menjadi pondasi keikhlasan menjakani kehidupan. Salam hormat Pak Guru

    BalasHapus
  3. Benar, pak. Harus selalu bersyukur... Mudah2an bapak, istri dan keluarga selalu sehat dan diberikan keberkahan dalam hidup.

    BalasHapus