Baiklah, saya mulai saja dari sisni.
Ketika musim cengkeh tiba, hampir semua warga desa dapat merasakan hingar bingarnya musim ini. Musim yang paling ditunggu. Banyak senyum di ujung bibir para warga ketika kuncup-kuncup bunga cengkeh sudah mulai terlihat. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki hektaran di kebunya. Semua berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut tersenyum bahagia. Karena dari jasa merekalah cengkeh dari pucuk-pucuk pohon tertinggi bisa digapai dengan tangan-tangannya. Mereka rela melawan angin demi butiran-butiran cengkeh di pucuk pohon nan tinggi. Mereka menjadi pekerja pemetik cengkeh.
Juragan-juragan musiman berkeliaran
seperti anak-anak ayam lepas dari induknya. Berbagai sistem dihalalkan. Ada
yang dikenal dengan sistem tebas - membeli cengkeh yang masih
di pohon dengan taksiran harga tertentu-, ada sistem ijon –
membeli cengkeh ketika kuncup bunga baru terlihat- yang kadang sering merugikan
petani cengkeh.
Anak-anak di musim cengkeh ikut juga
bereuforia. Seperti aku dan kakakku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah,
aku dan kakakku berlomba untuk mendapatkan butir cengkeh sebanyak-banyaknya.
Sambil mengucek mata yang masih malas untuk melihat dunia, langsung bertolak ke
belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam
semalam. Sebutir sangat bernilai. Aku memungutnya satu persatu dan tak boleh
ada yang tertinggal satu butirpun. Satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi
alat ukur atau timbangan bisa kami dapatkan di pagi itu. Lumayan, cukup untuk
jajan satu hari bahkan lebih.
Kantong anak-anak desa itu rata-rata
tebal. Yang paling aku tunggu adalah penjual keliling musiman. Mereka
berbondong-bondong memikul jualannya berjalan kiloan meter entah dari mana hingga
sampai ke ujung desaku di dataran cukup tinggi. Rupanya mereka tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan musim ini. Mencari rejeki demi anak istri hingga ke
desa kami. Targetnya adalah kami, anak-anak kecil berkantong tebal.
Yang kutunggu tidak lain adalah es potong,
harum manis, telor asin, kembang gula, dan enting-enting beras. Enting-enting
beras menjadi jajanan terfavoritku. Adalah selembar foto artis ibukota yang ada di dalam plastik jajanan tersebut, tapi bukan itu yang menarik buatku, tetapi syair lagu pop yang ada di belakang foto artis yang
selalu aku nanti. Susah sekali mencari syair lagu di jaman itu. Belum ada
internet, apalagi aplikasi atau website seperti Stafaband, Joox, Spotify dan semacamnya yang sekarang semua sudah ada di genggaman tangan berbentuk
Smartphone. Atau aku harus berebut radio transistor merek National milik
nenekku dan selalu stand by di depannya dan siap menunggu
dengan sebuah pulpen dan buku tulis untuk menyimak acara Syair dan Lagu Pop di
RRI Purwokerto setiap hari Sabtu jam 16.30. Sang penyiar mengeja kata demi kata
dengan sabarnya dan para pendengar di seantero Banyumas dan sekitarnya berjuang
untuk mendapatkan syair lagu setiap minggunya. Sungguh kejadian yang aneh yang
tidak pernah kutemui lagi di jaman sekarang.
Wajah-wajah orang dewasa di penuhi dengan
senyum di ujung bibirnya. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian
berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan
kemakmuran. Jangankan bunga cengkeh, daun cengkeh yang rontok pun sangat
memiliki nilai ekonomis. Di tetangga desa kami ada ketel penyulingan minyak
daun cengkeh. Anak-anak sekolah termasuk aku biasanya mengumpulkan daun dari
bawah pohon lalu disetorkan ke pengepul untuk kemudian diangkut oleh
pengusaha penyulingan. Kebetulan juga kakak iparku selain menjadi aparat desa
juga punya bisnis sambilan menjadi pengepul daun cengkeh. Kadar minyak daun
cengkeh kering ini bisa berkisar antara 2 sampai dengan 3% tiap 100 kg.daun
cengkeh kering diperoleh minyak antara 2 sampai 3 kg. Harga minyaknya antara Rp
40.000,- sampai dengan Rp 50.000,- per kg saat itu.
Siang memetik cengkeh malam berpesta di
sela-sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan
tradisional disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam.
Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Aku pun terus terjaga
dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25.
Cukup untuk ditukar 5 buah permen.
Bagian ini juga masih terrekam baik di
ingatanku. Bagian di mana musim ini membawa banyak orang jadi lupa diri.
Di beberapa sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan
teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi, kartu Remi.
Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga
pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang
lepas kendali dari kehingaran musim ini.
Waktu itu judi kartu masih sangat lekat di
masyarakat. Jangankan di musim cengkeh seperti itu. Di luar musim pun
masyarakat masih hiruk pikuk dengan judi ini.Tempat paling ramai untuk
menyalurkan hasrat berjudi adalah di tempat orang hajatan. Di mana ada bunyi
corong tanda warga desa berpesta pernikahan atau sunatan, di situlah para
pemburu meja judi akan bermukim. Para istri pemburu kartu remi ini siap-siap
untuk ditinggal semalaman.
Mereka hanya orang desa yang polos dan tak tahu yang mereka lakukan dilarang agama seperti yang mereka tahu saat sekarang. Semua seperti digelapkan. Pemerintah desa sebagai pengatur tatanan sosial masyarakat yang seharusnya bersih dari penyakit masyarakat seperti judi, tidak punya kekuatan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan para ulama yang ada pun tak kuasa membendung aktivitas miris waktu itu. Ini yang di sebut lembaran kelabu di balik kejayaan musim ini.
Satu hal lagi yang masih menggantung di
benakku waktu itu. Dibalik hingar-bingarnya musim ini, masih sangat jarang
anak-anak di desaku yang melanjutkan sekolah ke SMP apalagi SMA. Mereka
rata-rata hanya mentok di sekolah dasar. Memang pada masa itu pemerintah belum
menggencarkan Program Pendidikan 9 tahun. Termasuk ketiga
kakakku.saudara-saudaraku, tetanggaku, dan anak-anak pada umumnya cukup puas
dengan berijazah SD. Mungkin mereka juga sama sepertiku yang tidak begitu tahu
apa itu cita-cita.
Setahuku, bukan mereka tidak mampu
membayar uang sekolah saja. Tetapi mereka berpikir sekolah hanya buang-buang
waktu dan buang-buang biaya. Mereka tidak cukup informasi mengenai dunia luar
seperti informasi pendidikan dan kemajuan teknologi di luar sana. Pesawat
televisi saja masih jarang yang punya. Hanya beberapa orang yang punya pohon
cengkeh cukup banyak dan yang cukup berani untuk menjadi saudagar musiman
seperti bapakku. TV hitam putih yang ada di rumah merupakan hasil kerja bapakku berbisnis
cengkeh.
Ada sebagian yang takut harta bendanya
akan habis untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah hanya untuk mereka yang
mempunyai wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya
akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di
saat musim cengkeh berlalu banyak mereka yang harus bekerja lebih keras lagi
untuk bercocok tanam seperti saat sebelum musim cengkeh tiba. Apalagi
kemeriahan dan kebahagiaan musim cengkeh sewaktu aku kecil dulu sudah tidak
lagi berkibar ketika aku mulai beranjak remaja.
Ternyata Tuhan memang maha adil. Hingga
pada tahun-tahun berikutnya, hampir semua wilayah di desaku dan juga di seluruh
Indonesia banyak pohon cengkeh yang mati karena terserang penyakit pytoptora dan
cacar daun. Seandainya tidak, maka panen cengkeh nasional akan sangat melimpah
hingga terjadi hiper produksi. Padahal, dalam kondisi hanya
over produksi pun, harga cengkeh telah jatuh dari belasan ribu rupiah pada
akhir tahun 1970an, tinggal Rp 2.000,- per kg. Hingga akhirnya pemerintah
membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek
justru menjalankan sistem monopoli.
Tahun 1990an adalah puncak kejengkelan
petani cengkeh terhadap BPPC. Banyak petani yang menelantarkan kebun
cengkehnya. Ada pula yang menuruti anjuran pemerintah untuk menebang tanaman
cengkehnya. Selain karena cacar, banyak warga desa yang terpengaruh anjuran
pemerintah tadi. Cengkeh tidak lagi seberharga dulu. Cengkeh menjadi komoditi
sampah bagi kami. Sumber kemakmuran mulai tumbang seperti tumbangnya pohon
cengkeh yang ditebang oleh pemiliknya sendiri. Saat itu batang pohon kemakmuran
itu tersusun rapi di samping tungku perapian dapur rumahku. Teronggok tak
bedaya dan siap untuk jadi kayu bakar.
Setelah pemerintah Orde Baru tumbang dan
BPPC dibubarkan, harga cengkeh kembali merayap naik. Puncaknya terjadi tahun
2001. Harga cengkeh kering mencapai Rp 80.000,- per kg. Namun sayang, bapakku
tak menyisakan satu batang pohonpun. Begitu pula dengan petani yang lain.
Cerita Bapak luar biasa, saya juga terkenang masa SD sering di jemput paman saat liburan panjang sekolah, untuk membantu mengunduh bunga cengkeh yg berserakan di bawah pohon. Itu skrg tinggal kenangan.
BalasHapusWah ternyata pernah alami juga ya Bu. Ingin rasanya mengulang masa kecil yang luar biasa itu. Hehhe
Hapus