Senin, 31 Mei 2021
Jumat, 28 Mei 2021
Selasa, 25 Mei 2021
Minggu, 23 Mei 2021
Sabtu, 22 Mei 2021
Problema Anak Tengah, Middle Child Syndrome
Kali ini aku akan mencoba sedikit bercerita khusus tentang anak-anakku, khususnya anak keduaku. Bukan karena dia begitu spesial bagiku karena semua anak-anakku memang sangat spesial. Banyak hal yang membuat kami terus belajar dari setiap kejadian dalam mendidik dan membesarkan mereka.
Suatu pagi, sewaktu aku sedang rapat verifikasi soal via zoom, tiba-tiba anak keduaku keluar dari kamarnya dengan muka seperti ketakutan dan mengeluh sesak nafas. Lansung saya off camera dan meminta dia duduk di kursi di depanku. Dengan sigap aku mencari semacam minyak telon atau kayuputih untuk sekedar dioleskan di telapak tangannya atau pun kakinya sambil dipijit-pijit. Yang dia butuhkan adalah ketenangan, kenyamanan, bahkan sentuhan sehingga ketika dioleskan minyak tersebut dia akan merasakan sentuhan yang memberikan ketenangan. Aku hafal betul dengan kondisi anakku karena kejadian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Aku ajak dia senyum sambil mengelus tangannya dengan minyak dan aku suruh dia duduk tegak dan sedikit-sedikit tarik nafas.
Perlahan-lahan aku masuk ke alam pikirannya dengan memberikan bisikan kata yang menenangkan di dekat telinganya bahwa semua akan baik-baik saja. Semua orang punya masalah dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.
Selama ini dia sering merasa bahwa dia mempunyai banyak masalah, selalu menjadi beban keluarga dan memiliki sifat lebih jelek dibandingkan saudara-saudaranya. Tetapi aku selalu menjelaskan padanya bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masing, begitu pula kelemahannya. Aku bilang bahwa dari keempat-empatnya anakku tidak ada yang terlahir dengan sifat dan karakter yang jelek saja maupun baik saja. Semua anak dilahirkan dengan berbagai karakter yang diturunkan dari kedua orang tuanya dan bahkan mungkin membawa sifat kakek dan neneknya. Jadi sudah dipastikan masing-masing anak memiliki kelebihan dan kekurangan sama seperti karakter manusia pada umumnya.
Selain dari sudut genetika, ada juga karakter yang dibentuk dari pendidikan orang tua dan lingkungan di mana dia berada dan bersosialisasi. Pengaruh lain juga dari kondisi sosial ekonomi orang tua saat dilahirkan dari anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang berbeda-beda. Sebagai latar belakang keluargaku yang dari merangkak hingga jongkok lalu berdiri, tetunya membawa pengaruh penting bagi setiap anak yang dilahirkan. Karena hampir bisa dipastikan bahwa setiap kelahiran anak-anakku memiliki background kondisi yang berbeda-beda.
Anak pertamaku yang lahir di saat jaman krisis moneter di tahun 1998 dengan kondisi ekonomi keluargaku yang saat itu juga tidak menentu, tentunya kondisi ini yang memprihatinkan dan banyak sekali keterbatasan. Namun sebagai anak pertama laki-laki yang terlahir sangatlah ingin memberikan yang terbaik bagi anak pertama ini. Walaupun mungkin segala kebutuhan tidaklah bisa terpenuhi, tapi kami sebagai orang tua mengingnkan anak ini untuk mendapatkan sesuatunya sesuai kebutuhanya.
Berbeda dengan anak kedua, yang kebetulan perempuan. Anak kedua kami lahir selang 4 tahun dari kelahiran kakaknya. Hadirnya bayi perempuan di keluarga kami menjadi pelengkap kebahagiaan setelah anak pertama terlahir laki-laki. Seandainya anak kami cuma dua, maka lengkaplah dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Begitu pula kondisi ekonomi keluarga juga sudah meningkat setapak lebih baik dari kelahiran anak pertama. Walaupun tidak semua kebutuhan dapat terpenuhi, namun setidaknya sudah lebih baik pada kondisi anak kedua ini lahir. Hal ini tentunya banyak faktor yang membentuk karakternya pula.
Tetapi permasalahan lain muncul ketika empat tahun kemudian lahirlah anak kami yang ketiga, dan perempuan. Anak kedua kami yang berumur empat tahun harus mempunyai seorang adik perempuan. Hal ini bisa menjadikan sebuah kebaikan buat sang kakak, namun juga bisa sebaliknya. Baiknya, ketika si adik bisa menjadi teman bermain yang satu gender dengan kakanya. Mereka bisa bermain bersama dengan mainan yang sama. Atau mereka bisa bermain peran dalam permainannya dengan menggunakan pakaian perempuan dalam sebuah drama-dramaan anak-anak. Namun ketika mereka sedang tidak bisa bermain bersama, justru persamaan gender dengan usia yang berbeda juga bisa menimbulkan masalah baru. Persaingan dalam hal mainan, pakaian, perhatian pada orang tua dan tentunya sang kakak akan merasa tersisih dalam hal perhatian. Ketika suatu saat sang adik dibelikan mainan baru atau pakaian baru sedang sang kakak tidak, malapetaka bisa terjadi. Kalaupun kami berdalih bahwa, 'dulu waktu kamu kecil, kamu juga dibelikan mainan yang sama, atau pakaian yang sama seperti adikmu,' tapi tentunya dia sudah lupa dan tidak mau mengerti. Menurutnya, kita sebagai orang tua telah berlaku membeda-bedakan. Mungkin itu yang dinamakan middle child syndrome.
Menurut artikel yang saya baca dari https://id.theasianparent.com/middle-child-syndrome bahwa anak tengah akan mengalami middle child syndrome karena orang tua lebih memperhatikan anak sulung dan memanjakan anak bungsu. Sebagai pelampiasan dari rasa diabaikan tersebut, anak tengah akan memiliki kecenderungan untuk berulah. Membaca ini, aku lantas berfikir apakah kami sebagai orang tua sudah memperlakukan anak kedua kami tersebut seperti itu? Kami mencoba merefleksikan diri apa yang sudah kami lakukan selama ini. Sebagai orang tua, kami merasa sudah semaksimal mungkin berlaku adil pada anak-anak dan sesuai porsinya. Tidak ada yang dilebih-lebihkan baik anak sulung, anak kedua, ataupun anak bungsu. Tapi itulah yang terjadi seperti yang disampaikan oleh artikel itu, mungkin secara tidak sadar, kami melakukan itu, lebih memperhatikan si sulung dan memanjakan si bungsu, walaupun itu terdengar terlalu kasar.
Kemabali ke anak keduaku, yang sementara kami sebut sebagai anak tengah, karena anak keempat lahir setelah anak ketiga kami berumur 10 tahun. Jadi bisa dikatakan, karakter anak kedua kami menjadi anak tengah sudah terbentuk sebelum si anak keempat kami lahir.
Kalau berkaca pada artikel di atas, ada hal yang menghawatirkan yang menyelinap di dadaku. Apakah betul nantinya anak kami tersebut akan benar-benar berulah? Tetapi saya paham betul perkembangan anakku. Justru dari sifatnya yang memiliki kepekaan lebih itulah terlihat ada hal-hal positif yang muncul. Dia cenderung ingin memperhatikan lebih pada orang lain dibandingkan pada dirinya sendiri. Untuk itu dia sebenarnya memiliki keistitimewaan yang bisa dijadikan bekal di masa mendatang. Kami harus optimis dengan keadaan anak tersebut.
Dalam perilaku yang dapat diamati setiap hari, dia sering tidak tega melihat orang lain menderita termasuk terhadap binatang sekali pun. Hal inilah yang justru menjadi strength buat dia. Walalupun kepekaannya yang berlebih kadang membuatnya kurang mempedulikan dirinya sendiri dan sering menjadi gelisah hingga menangis. Di situlah tantangan kami untuk bisa membesarkan hatinya dan tetap optimis menghadapi masa depannya.
Hanya dibutuhkan kelembutan dan ungkapan-ungkapan positif yang membukakan pikiran sehingga dia akan semakin membaik. Mungkin sedikit keterbukaan bahwa pada saat tertentu dia merasa resah dan gelisah yang kadang tidak jelas apa penyebabnya. Bahkan suasana sendu dari sebuah alunan musik pun bisa membuatnya menangis tanpa sebab. Hal itu sering diungkapkannya dan kami orang tua cukup tahu saja kalau dia sedang mengalami seperti itu.
Begitu banyak peristiwa yang terjadi selama mendidik anak-anak sendiri di rumah. Semua orang tua atau pun keluarga pasti pernah mengalaminya dan tentunya dengan kisah problema yang berbeda. Tetapi tentunya kita bisa belajar dari semua peristiwa dan keistimewaan-keistimewaan yang ada pada anak-anak kita. Karakter yang tampak pada anak-anak kita merupakan sebagian besar olahan dan ramuan kita dalam mendidiknya sejak kecil. ayosugiryo.blogspot.com
#FromHomeWithLove
Menjadi Guru : Cita-cita, Kebetulan, atau Panggilan?
Menjadi guru!
Mengapa aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Aku pun tak tahu alasannya waktu itu ketika kelas VI SD di tahun 1986 aku ditanya guruku tentang cita-citaku. Aku seperti asal menjawab dan memang saat itu aku belum tahu tentang apa itu cita-cita dan akan menjadi apa nanti saat dewasa aku pun tak tahu.
Walaupun tampak samar, mungkin inilah alasannya. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi presiden, pilot, dokter, polisi atau yang lainnya seperti jawaban teman-temanku.
Yang aku tahu waktu i
tu guru bisa mengajari aku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, berbicara sopan, masuk kelas tepat waktu, berbuat jujur dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga.
Jumat, 21 Mei 2021
Halalbihalal Puhua School : Bersatu dalam Keberagaman
Bulan Mei tahun 2021 merupakan bulan yang sangat istimewa karena banyak momen penting yang terjadi di bulan ini. Pertama, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2021. Kedua, tanggal 13 Mei, di mana semua umat Islam sedang berbahagia merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa dan merayakan Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 H. Lalu pada tanggal 20 Mei, adalah merupakan hari di mana kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Masih dalam momen hari-hari penting itu, tanggal 21 Mei, hari ini Sekolah Tiga Bahasa Putera Harapan Purwokerto (Puhua School) juga mengadakan acara yang sangat istimewa bagi kebersamaan keluarga besar Puhua School yang terdiri dari Yayasan, Konsultan Sekolah, Senior Management Team, guru dan karyawan, orang tua siswa, dan para siswa. Kami bersatu dalam keberagaman yang merupakan tema hikmah silaturahmi yang disampaikan secara mendalam dan sangat mengena dengan perbedaan yang dapat menyatu pada acara inti yang disampaikan oleh Gus Ajir Ubaidillah pemimpin Ponpes Nurul Huda Cilongok. Acara tersebut diadakan secara virtual sore tadi mulai pukul 16.00 WIB. Acara halalbihalal ini juga dihadiri oleh konsultan Puhua School Ibu Dr. Capri Anjaya yang dalam sambutan penutupan menyampaikan beberapa kesan yang mendalam tentang kegiatan tersebut. Salah satu kesan yang disampaikan adalah bahwa beliau dapat merasakan kebersamaan dalam perbedaan di lingkungan Puhua School karena semua pihak saling meminta maaf dan memafkan yang merupakan momen yang sangat indah, dan tentunya akan lebih indah jika momen hari ini akan diterapkan setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu beliau berharap kualitas pendidikan di Puhua School akan terus meningkat dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan ini.Acara silaturahmi virtual tersebut dilengkapi dengan ikrar permintaan maaf dari jajaran pengurus yayasan, perwakilan guru dan karyawan all levels dari Early Year, Primary, dan Secondary, dan tak ketinggalan perwakilan siswa dan juga orang tua siswa. Dengan maaf memaafkan yang yang hanya dilakukan secara virtual namun tidak mengurangi kebersamaan yang selalu diciptakan di lingkungan Puhua School. Bahkan fasilitas online ini bisa dapat mempersatukan semua pihak walaupun dengan jarak yang berbeda dan semua pihak dapat hadir dengan mudah melalui teknologi yang digunakan.
Harapan kami acara tersebut dapat menjadi sarana untuk tetap saling mempererat persaudaraan dalam lingkungan keluarga besar Puhua School dan komitmen Puhua School untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada masyarakat Banyumas dan masyarakat yang lebih luas. ayosugiryo.blogspot.com
#Repotase
Kamis, 20 Mei 2021
Rabu, 19 Mei 2021
Minggu, 16 Mei 2021
Ketika Musim Cengkeh Tiba
Baiklah, saya mulai saja dari sisni.
Ketika musim cengkeh tiba, hampir semua warga desa dapat merasakan hingar bingarnya musim ini. Musim yang paling ditunggu. Banyak senyum di ujung bibir para warga ketika kuncup-kuncup bunga cengkeh sudah mulai terlihat. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki hektaran di kebunya. Semua berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut tersenyum bahagia. Karena dari jasa merekalah cengkeh dari pucuk-pucuk pohon tertinggi bisa digapai dengan tangan-tangannya. Mereka rela melawan angin demi butiran-butiran cengkeh di pucuk pohon nan tinggi. Mereka menjadi pekerja pemetik cengkeh.
Juragan-juragan musiman berkeliaran
seperti anak-anak ayam lepas dari induknya. Berbagai sistem dihalalkan. Ada
yang dikenal dengan sistem tebas - membeli cengkeh yang masih
di pohon dengan taksiran harga tertentu-, ada sistem ijon –
membeli cengkeh ketika kuncup bunga baru terlihat- yang kadang sering merugikan
petani cengkeh.
Anak-anak di musim cengkeh ikut juga
bereuforia. Seperti aku dan kakakku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah,
aku dan kakakku berlomba untuk mendapatkan butir cengkeh sebanyak-banyaknya.
Sambil mengucek mata yang masih malas untuk melihat dunia, langsung bertolak ke
belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam
semalam. Sebutir sangat bernilai. Aku memungutnya satu persatu dan tak boleh
ada yang tertinggal satu butirpun. Satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi
alat ukur atau timbangan bisa kami dapatkan di pagi itu. Lumayan, cukup untuk
jajan satu hari bahkan lebih.
Kantong anak-anak desa itu rata-rata
tebal. Yang paling aku tunggu adalah penjual keliling musiman. Mereka
berbondong-bondong memikul jualannya berjalan kiloan meter entah dari mana hingga
sampai ke ujung desaku di dataran cukup tinggi. Rupanya mereka tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan musim ini. Mencari rejeki demi anak istri hingga ke
desa kami. Targetnya adalah kami, anak-anak kecil berkantong tebal.
Yang kutunggu tidak lain adalah es potong,
harum manis, telor asin, kembang gula, dan enting-enting beras. Enting-enting
beras menjadi jajanan terfavoritku. Adalah selembar foto artis ibukota yang ada di dalam plastik jajanan tersebut, tapi bukan itu yang menarik buatku, tetapi syair lagu pop yang ada di belakang foto artis yang
selalu aku nanti. Susah sekali mencari syair lagu di jaman itu. Belum ada
internet, apalagi aplikasi atau website seperti Stafaband, Joox, Spotify dan semacamnya yang sekarang semua sudah ada di genggaman tangan berbentuk
Smartphone. Atau aku harus berebut radio transistor merek National milik
nenekku dan selalu stand by di depannya dan siap menunggu
dengan sebuah pulpen dan buku tulis untuk menyimak acara Syair dan Lagu Pop di
RRI Purwokerto setiap hari Sabtu jam 16.30. Sang penyiar mengeja kata demi kata
dengan sabarnya dan para pendengar di seantero Banyumas dan sekitarnya berjuang
untuk mendapatkan syair lagu setiap minggunya. Sungguh kejadian yang aneh yang
tidak pernah kutemui lagi di jaman sekarang.
Wajah-wajah orang dewasa di penuhi dengan
senyum di ujung bibirnya. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian
berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan
kemakmuran. Jangankan bunga cengkeh, daun cengkeh yang rontok pun sangat
memiliki nilai ekonomis. Di tetangga desa kami ada ketel penyulingan minyak
daun cengkeh. Anak-anak sekolah termasuk aku biasanya mengumpulkan daun dari
bawah pohon lalu disetorkan ke pengepul untuk kemudian diangkut oleh
pengusaha penyulingan. Kebetulan juga kakak iparku selain menjadi aparat desa
juga punya bisnis sambilan menjadi pengepul daun cengkeh. Kadar minyak daun
cengkeh kering ini bisa berkisar antara 2 sampai dengan 3% tiap 100 kg.daun
cengkeh kering diperoleh minyak antara 2 sampai 3 kg. Harga minyaknya antara Rp
40.000,- sampai dengan Rp 50.000,- per kg saat itu.
Siang memetik cengkeh malam berpesta di
sela-sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan
tradisional disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam.
Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Aku pun terus terjaga
dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25.
Cukup untuk ditukar 5 buah permen.
Bagian ini juga masih terrekam baik di
ingatanku. Bagian di mana musim ini membawa banyak orang jadi lupa diri.
Di beberapa sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan
teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi, kartu Remi.
Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga
pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang
lepas kendali dari kehingaran musim ini.
Waktu itu judi kartu masih sangat lekat di
masyarakat. Jangankan di musim cengkeh seperti itu. Di luar musim pun
masyarakat masih hiruk pikuk dengan judi ini.Tempat paling ramai untuk
menyalurkan hasrat berjudi adalah di tempat orang hajatan. Di mana ada bunyi
corong tanda warga desa berpesta pernikahan atau sunatan, di situlah para
pemburu meja judi akan bermukim. Para istri pemburu kartu remi ini siap-siap
untuk ditinggal semalaman.
Mereka hanya orang desa yang polos dan tak tahu yang mereka lakukan dilarang agama seperti yang mereka tahu saat sekarang. Semua seperti digelapkan. Pemerintah desa sebagai pengatur tatanan sosial masyarakat yang seharusnya bersih dari penyakit masyarakat seperti judi, tidak punya kekuatan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan para ulama yang ada pun tak kuasa membendung aktivitas miris waktu itu. Ini yang di sebut lembaran kelabu di balik kejayaan musim ini.
Satu hal lagi yang masih menggantung di
benakku waktu itu. Dibalik hingar-bingarnya musim ini, masih sangat jarang
anak-anak di desaku yang melanjutkan sekolah ke SMP apalagi SMA. Mereka
rata-rata hanya mentok di sekolah dasar. Memang pada masa itu pemerintah belum
menggencarkan Program Pendidikan 9 tahun. Termasuk ketiga
kakakku.saudara-saudaraku, tetanggaku, dan anak-anak pada umumnya cukup puas
dengan berijazah SD. Mungkin mereka juga sama sepertiku yang tidak begitu tahu
apa itu cita-cita.
Setahuku, bukan mereka tidak mampu
membayar uang sekolah saja. Tetapi mereka berpikir sekolah hanya buang-buang
waktu dan buang-buang biaya. Mereka tidak cukup informasi mengenai dunia luar
seperti informasi pendidikan dan kemajuan teknologi di luar sana. Pesawat
televisi saja masih jarang yang punya. Hanya beberapa orang yang punya pohon
cengkeh cukup banyak dan yang cukup berani untuk menjadi saudagar musiman
seperti bapakku. TV hitam putih yang ada di rumah merupakan hasil kerja bapakku berbisnis
cengkeh.
Ada sebagian yang takut harta bendanya
akan habis untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah hanya untuk mereka yang
mempunyai wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya
akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di
saat musim cengkeh berlalu banyak mereka yang harus bekerja lebih keras lagi
untuk bercocok tanam seperti saat sebelum musim cengkeh tiba. Apalagi
kemeriahan dan kebahagiaan musim cengkeh sewaktu aku kecil dulu sudah tidak
lagi berkibar ketika aku mulai beranjak remaja.
Ternyata Tuhan memang maha adil. Hingga
pada tahun-tahun berikutnya, hampir semua wilayah di desaku dan juga di seluruh
Indonesia banyak pohon cengkeh yang mati karena terserang penyakit pytoptora dan
cacar daun. Seandainya tidak, maka panen cengkeh nasional akan sangat melimpah
hingga terjadi hiper produksi. Padahal, dalam kondisi hanya
over produksi pun, harga cengkeh telah jatuh dari belasan ribu rupiah pada
akhir tahun 1970an, tinggal Rp 2.000,- per kg. Hingga akhirnya pemerintah
membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek
justru menjalankan sistem monopoli.
Tahun 1990an adalah puncak kejengkelan
petani cengkeh terhadap BPPC. Banyak petani yang menelantarkan kebun
cengkehnya. Ada pula yang menuruti anjuran pemerintah untuk menebang tanaman
cengkehnya. Selain karena cacar, banyak warga desa yang terpengaruh anjuran
pemerintah tadi. Cengkeh tidak lagi seberharga dulu. Cengkeh menjadi komoditi
sampah bagi kami. Sumber kemakmuran mulai tumbang seperti tumbangnya pohon
cengkeh yang ditebang oleh pemiliknya sendiri. Saat itu batang pohon kemakmuran
itu tersusun rapi di samping tungku perapian dapur rumahku. Teronggok tak
bedaya dan siap untuk jadi kayu bakar.
Setelah pemerintah Orde Baru tumbang dan
BPPC dibubarkan, harga cengkeh kembali merayap naik. Puncaknya terjadi tahun
2001. Harga cengkeh kering mencapai Rp 80.000,- per kg. Namun sayang, bapakku
tak menyisakan satu batang pohonpun. Begitu pula dengan petani yang lain.
Mengapa Covid19 Harus Singgah ke Rumahku?
Awal Ramadan seharusnya hadir begitu indah diwarnai dengan wajah sumringah karena kami dapat beribadah dengan penuh barokah. Tetapi tidak untuk Ramadan kali ini. Hari pertama datangnya Ramadan, waktu itu tanggal 13 April 2021, merupakan hari kedua kami berempat sedang menjalani isolasi mandiri setelah sehari sebelumnya kami menjalani tes PCR di puskesmas setempat.
Sabtu, 15 Mei 2021
Selasa, 11 Mei 2021
My Quotes: Sahabat
#Day4MayChallenge
#Katamutiaraku
Sahabat bisa diartikan sebagai orang terdekat kita yang akan selalu mengisi dan mengerti tentang diri kita begitu pun kita sebaliknya, baik itu penderitaan, kebahagiaan, kekecewaan, kemarahan, dan lain-lain. Sahabat bisa menyimpan rahasia kita dengan rapat. Sahabat mampu membantu memecahkan masalah yang menimpa kita. Mungkin itu definisi sederhana mengenai sahabat. Sahabat bisa terdiri dari orang tua kita, anak-anak kita, teman dekat atau siapapun yang bisa menjadikan tempat berlabuh.
Related Post: Jaman Now, Masih Butuh Sahabat?
Jangan 'Baper' Baca Tulisan Ini!
Sebenarnya bahwa apakah baper itu penting atau tidak untuk dibahas? Itulah yang mungkin sedang menggelisahkan saya sehingga saya memilih topik ini untuk belajar konsisten menulis. Atau mungkin saat ini memang saya sedang baper, bisa jadi.
Kalau ditiik dari maknanya, baper memang sudah merupakan salah satu diantara sifat yang ada pada diri setiap orang. Hanya mungkin kadar atau kapasitas kebaperan dari setiap orang berbeda-beda. Begitu pula dalam menyikapi masalah, setiap orang akan memiliki cara dan kemampuan berbeda-beda.
Baper bisa terjadi pada siapa saja dan tidak membedakan baik itu jenis kelamin, usia, maupun posisi seseorang. Namun banyak yang mengatakan bahwa perempuan lebih sering baper daripada laki-laki. Mungkin ini hanya sekedar asumsi atau praduga saja tetapi karena itu merupakan pendapat orang ya, sah-sah saja. Tetapi menurut Pakar Psikolog, Marissa Harrison, yang saya kutip dari kumparan.com bahwa perempuan merupakan makhluk yang perasa dan peka sehingga membuat perempuan lebih menggunakan perasaannya dibandingkan logikanya.
Begitu pula menurut hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti di University of Basel Switzwrland mengungkapkan bahwa pada otak anak laki-laki memiliki volume insula anterior atau volume materi abu-abu yang tumbuh lebih besar pada bagian yang menyebabkan perilaku kurang peka terhadap perasaan dan emosi. Sehingga dimungkinkan bahwa perempuan memang lebih memiliki kepekaan dan emosional dibandingkan laki-laki. Nah untuk para perempuan yang baca ini mohon untuk tidak baper dulu karena faktanya banyak juga laki-laki yang suka baper.
Seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa baper juga bisa dialami oleh siapa saja dan tidak hanya berdasarkan jenis kelamin. Menurut psikolog Bona Sardo, MPsi, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang saya kutip dari https://health.detik.com., bahwa baper umum terjadi pada seseorang yang sudah memasuki fase lanjut usia (lansia) atau baru pensiun. Meski begitu, bukan berarti semua orang yang memasuki masa lansia akan mengalaminya. Hal ini tentunya tidak terjadi pada semua orang karena ada hal-hal lain yang mempengaruhi seperti jabatan, kekuasaan, kehormatan, kepribadian dan masa adaptasi. Nah, pada masa adaptasi ini seseorang juga akan mudah marah dan sensitif karena sebelumnya memiliki jabatan atau kekuasaan dan saat ini sudah tidak produktif lagi.
Lalu, apakah baper itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang buruk, baik, menguntungkan, merugikan atau merupakan hal yang wajar-wajar saja? Kalau melihat dari definisinya bahwa baper bermkna memiliki arti berlebihan atau terlalu sensitif dalam menanggapi suatu hal, maka tentunya sesuatu yang berlebihan ketika menanggapi sesuatu hal itu merupakan tindakan yang kurang menguntungkan. Karena dengan berlebihan dalam menanggapi sesuatu seseorang kadang akan kehilangan nalarnya untuk berfikir secara logis sehingga perasaannya akan mendahului logikanya.
Selain itu, kita juga sering menjumpai atau bahkan mengalami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi banyak masalah atau dalam kondisi tersudut, biasanya kita sangat mudah terpicu untuk baper. Begitu pula orang yang sedang mengalami krisis tidak percaya diri akan sangat mudah terpancing untuk baper.
Salah satu akibat yang mungkin ditimbulkan ketika seseorang dalam keadaan baper dan dia harus memutuskan sesuatu maka keputusan yang dia buat dengan tanpa mempertimbangkan nalar yang baik hasilnya akan kurang menguntungkan. Sehingga setelah masa baper itu lewat, bisa terjadi penyesalan yang mendalam atas keputusannya itu.
Dalam kondisi baper seperti ini sangat memungkinkan bagi kita untuk melakukan hal-hal yang di luar kendali nalar kita. Seperti memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa, berkata kasar di status sosial media, atau marah-marah pada orang lain yang bukan sasarannya. Al hasil, permasalahan baru akan mungkin ditimbulkan ketika kita tidak bisa mengendalikan kebaperan kita. Selain itu, tentunya kita juga tidak mau dikatakan bahwa kita termasuk orang yang baperan. Bukankah tidak enak menyandang gelar baperan.
ayosugiryo.blogspot.com
Minggu, 09 Mei 2021
Sabtu, 08 Mei 2021
Cerpen: Gadis Kecil Penjaja Kerupuk
Aku terkesima ratusan kali mendengarkan dia bercerita malam itu di atas becak sepanjang jalan Sudirman. Waktu itu kalau tidak salah sekitar tahun 1995. Dia berkisah tentang perjuangan seorang gadis kecil yang ingin menggapai masa depannya dengan segala keterbatasan dan membuatnya menjadi semakin dewasa dan mengerti betapa hidup perlu diperjuangkan. Sambil berkaca-kaca dia terus berkisah;
Genangan air berwarna
hitam dari got-got mampet yang berada di samping kiri dan kanan di antara rumah-rumah
yang berhimpitan sangatlah berbau busuk dan menusuk. Gadis itu berjalan terseok
diantara bau busuk itu sambil beringsut menyeka keringatnya yang berusaha
mengalir ke pelipisnya dan seperti tanpa mempedulikan dan tetap membiarkan bau
itu keluar masuk hidungnya. Got-got itu adalah masalah klasik yang tak terlalu
menjadi soal yang perlu penanganan serius bagi masyarakat di sana. Sarang
nyamuk itu pun tak begitu mengganggu kehidupan mereka. Mereka lebih suka
melakukan hal-hal praktis seperti mengoleskan lotion anti nyamuk ke bagian
tubuhnya ketimbang harus membereskan saluaran air yang sudah menjadi sarang
nyamuk itu.
Berulang kali pula gadis
kecil itu menyibakkan rambutnya yang terurai seleher dan bagian atasnya mulai
memerah karena terbakar panasnya matahari kota Indramayu. Tangannya yang mungil
menjinjing wadah yang penuh dengan jajanan dan siap ditawarkan ke orang-orang
sepanjang lorong gang. Beberapa ibu di depan rumahnya berusaha memanggilnya
untuk membeli jualan titipan yang dibawanya. Senyumnya mulai mengembang
diantara peluhnya ketika barang dagangannya mulai dibeli. Harapan untuk
mendapatkan uang jajan hari itu akan terpenuhi ketika dia berhasil menjual
semua dagangan titipan hari itu. Dua ribu lima ratus rupiah merupakan uang yang
cukup untuk membuatnya bahagia. Orang tuanya yang hidup dengan segala
keterbatasan membuat dia bekerja keras demi memenuhi keinginan yang sangat
lumrah bagi seorang anak kecil yaitu jajan.
Bagi dia harga sebuah
makanan kecil atau jajan harus ditukar dengan bekerja keras. Setidaknya hal itu
bisa diperoleh jika mau membantu sang ibu berjualan kerupuk. Dia harus berjalan
menyusuri kampung, jalan raya, pasar, sekolahan, mushola, dan stasiun kereta.
Kadang dia harus menunggui jualannya di depan mushola sambil ikut mengaji dari
luar. Kesempatan mengaji dia lakukan sambil berjualan.
Selain menjajakan
dagangan titipan atau jualan kerupuk ibunya, dia juga harus berkorban waktu
paginya sebelum jam sekolah dimulai. Setiap pagi dia berusaha berangkat sepagi
mungkin demi teman terbaiknya. Si gadis pun harus berangkat lebih pagi untuk
berangkat ke sekolah bersama dengan teman dekatnya, Erna. Bahkan dia berusaha
sampai rumah temannya itu sebelum dia terbangun. Di sana, gadis kecil itu akan
mendapatkan sarapan pagi setiap kali mengajak teman terbaiknya itu berangkat
sekolah. Walaupun itu bukan tujuan, tapi karena niat baiknya itulah dia
mendapatkan balasannya.
Erna anak orang yang
serba kecukupan. Papahnya seorang bisnis yang lumayan. Si gadis hanya merasa
heran terhadap anak seperti Erna. Betapa hidangan sarapan pagi yang menurut si
gadis itu sangat mewah dan enak. Namun Erna sendiri enggan memakannya. Apa
sebenarnya yang terjadi di dunia ini begitu terbalik. Erna yang sedemikian
orang tuanya memperhatikan dan mampu memberikan sarapan enak malah tidak bisa
menikmatinya. Si gadis yang ingin sekedar menikmati sarapan seadanya pun kadang
orang tuanya tak mampu menyediakannya.
Si gadis juga punya rasa
malu. Sering kali dia menolak untuk sarapan di rumah Erna, namun papahnya
selalu memaksanya. Mereka adalah orang kaya yang baik hati.
“Ayo Nong sarapan!”
begitu dia memanggil si gadis.
“Udah Bah! Saya sudah
makan,” jawab si gadis sopan. Si gadis memanggil papah Erna dengan panggilan
Babah sebagaimana umumnya masyarakat memanggilnya ‘Babah’ untuk sebutan ‘Bapak’
bagi orang keturunan Tionghoa.
“Ayolah! Biar Erna ikut
makan! Si Erna itu susahnya minta ampun kalau suruh makan!” begitu papah Erna
berkeluh merasa khawatir.
“Iya Bah,” jawab si
gadis berusaha menuruti saran papah Erna.
Sejak TK, SD, hingga SMP
si gadis tidak pernah membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan sudah dibayar
oleh seseorang yang memang mampu dan berbaik hati untuk membiayai si gadis. Si
gadis memang sudah menunjukan kecerdasannya dan orang kaya tersebut akan merasa
bangga dan puas bisa membantu si gadis. Mereka tahu kehidupan si gadis yang
serba kekurangan tapi masih mau bekerja keras untuk membantu orang tuanya
berjualan di antara jam sekolah dan jam bermain sebagai anak-anak.
Baginya sekolah adalah tempat yang paling
menarik untuk menghabiskan masa kecilnya. Agama adalah kepercayaan yang
tidak bisa dibeli walaupun dia berada di lingkungan yang tidak seagama denganya sedari kecil karena dia bersekolah dari TK hingga SMP di sebuah Yayasan Agama yang tidak seagama dengan si gadis tersebut.
Mereka para donatur pendidikan yang membiayainya juga berbeda agama namun
sedikitpun tidak pernah menyentuh masalah agama yang si gadis dan keluarganya
anut. Mereka hanya beritikad membantu si gadis karena memiliki kepekaan yang
tinggi dengan permasalahan sosial. Membantu tidak harus melihat apa agama dan
etnis orang yang dibantunya. Itulah yang sudah mereka lakukan terhadap si gadis
hingga bisa mengeyam pendidikan sampai SMP di yayasan tersebut.
Kesempatan belajar
dengan bantuan biaya pendidikan bagi si gadis pun harus berakhir di kelas dua
SMP. Bukan karena sang donatur keberatan untuk melanjutkan pembiayaan si gadis.
Namun karena si gadis mendapatkan tawaran untuk hijrah ke sebuah kota di Jawa
Tengah.
“Nok, kalau kamu mau
sekolahmu lanjut, Bapak ada kakak di Jawa Tengah. Namanya Pakdhe Byakto. Dia seorang
guru SMA di Purwokerto. Pakdhe dan budhe Byakto itu tidak punya anak. Kalau
kamu mau, Bapak bisa antar kamu ke sana,” Sang bapak menarik nafas dalam-dalam
seolah ingin menelan kembali kata-kata yang sudah dikeluarkannya.
Mendengar kata Jawa
Tengah si gadis langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang ada di otaknya
‘Jawa Tengah’ sangat identik dengan pendidikan. Hampir delapan puluh persen
guru-gurunya di Indramayu berasaal dari Jawa Tengah. Impiannya untuk bisa
bersekolah lanjut di Jawa Tengah sudah mampu mengalahkan segalanya. Semua
kehangatan kampung halamannya, kedekatan Ayah dan Ibunya, Kakak dan adiknya,
sekolahnya dan tentunya Erna sahabatnya. Si gadis bertekad untuk merantau ke
Jawa Tengah dan bersekolah di sana. Dia begitu yakin bahwa masa depannya harus
dia rajut di sana. Aku mau belajar di kota pendidikan di Jawa Tengah itu sudah
menjadi tekadnya kalaupun dia harus mengorbankan perasaannya untuk berpisah
dengan semua orang-orang terdekatnya. Mimpi itu harus dikejar dan
diperjuangkan.
Hingga pada suatu malam
di tengah hujan di mana dia harus menangis sejadi-jadinya karena harus berpisah
dengan sang Bapak yang mengantarkannya ke rumah Pakdhe dan Budhenya yang belum
dia kenal sebelumnya. Jawa Tengah sudah menjadi tempat yang dia cita-citakan
untuk melanjutkan pendidikannya. Deraian air mata dan air hujan menyatu dan
menjadi saksi tekadnya untuk belajar dan meraih cita-cita si gadis kecil itu. Dan, si
gadis pejuang itu kini telah berubah menjadi gadis dewasa yang mandiri, smart dan penuh percaya diri yang sedang duduk sambil berkaca-kaca di sebelahku.