Setiap orang pasti mempunyai keinginan untuk memiliki sesuatu pada masa-masa tertentu. Begitu pula halnya dengan anak-anak. Dari ketiga anak-anakku waktu itu (sekarang sudah empat), semuanya mempunyai cara yang berbeda ketika mereka menginginkan sesuatu.
Anak pertamaku misalnya, ketika membutuhkan sesuatu dia akan menyampaikannya dengan sangat hati-hati. Pertama, dia akan menyusun kalimat prolog sedemikian rupa sehingga terdengar enak di telinga dan menarik perhatian orang tua. Kedua dia akan menceritakan secara runtut dari faktor kebutuhan untuk apa, budget yang akan dikeluarkan, dan penting tidaknya barang atau keperluan itu sehingga harus mengeluarkan uang cukup banyak dan kapan dia harus mendapatkannya. Atau lebih ke alur sebuah proposal yang harus menggunakan What, When, Why, dan How much.
Lalu anak keduaku, saat dia membutuhkan sesuatu yang kiranya menurut dia penting ataupun tidak penting, dia akan menuntut sesegera mungkin kebutuhan tersebut harus dipenuhi walaupun hasilnya tidak seperti yang dia inginkan. Karena kondisi misalnya keuangan tidak memungkinkan pada akhirnya harus kecewa dan menelan kekecewaannya sendiri.
Ini dia yang ingin aku ceritakan yaitu anak ketiga kami. Ketika itu dia masih di kelas 3 SD.
Suatu hari sepulang sekolah, tiba-tiba dia berkeluh.
“Yah, aku kok takut ya, nanti aku jadi pendek,’’ keluhnya
“Lho kenapa takut?” tanyaku penasaran.
“Soalnya setiap hari aku gendong tas sekolah seberat ini.” katanya lagi.
“Memangnya kalau setiap hari gendong tas berat trus jadi pendek?”
“Iya, saat ini kan tubuhku sedang bertumbuh, sedangkan beban tas di punggungku begitu beratnya. Bukankah nanti menghambat pertumbuhan tubuhku?” dia berargumen.
Aku diam sesaat memikirkan pendapatnya sambil membelokan kendaraan keluar lingkungan sekolah menuju jalan raya. ‘Ada benarnya juga pendapat anak ini.’
“Lalu, ayah harus bagaimana, Dek?”
“Ya, gimana ya?” Dia balik bertanya.
“Kok malah bertanya, Adek maunya bagaimana?”
“Adek mau nya pakai, pakai tas yang tidak digendong, yang diseret pakai roda itu lho yang kaya teman-temanku itu Yah”
Aku hening sejenak lagi sambil terus mengendalikan sepeda motorku hingga membentur tanggul jalan perumahan.
”Oh iya bisa juga tuh. Tetapi bukannya mereka sekolahnya naik mobil, jadi tidak masalah kalau bawa tas beroda itu. Kalau Adek pakai motor bagaimana bawanya?” Tanyaku memastikan.
“Ya bisa saja Yah. Kan bisa di taruh di depan,”
Aku bengong lagi sambil terus membelokan motor ke kanan ke arah jalan perumahan, hampir sampai rumah.
Mendengar penuturannya, ada dua hal yang aku tangkap di pikiranku. Pertama, dia ingin punya tas baru yang pakai roda dan tinggal seret seperti punya temannya. Kedua, dia memang benar-benar takut jadi pendek gara-gara setiap hari harus menggendong tas berat. Benar atau salah itu tidak terlalu penting.
Namun itu merupakan sebuah pemikiran anak yang realistis. Anak-anak memang lebih terbuka dalam mengungkapkan keinginannya. Untuk bisa memiliki sesuatu seperti yang dimiliki temannya adalah hal yang wajar. Namun anak-anak juga perlu dibukakan pemikirannya kalau keinginannya itu tidak selamanya harus dipenuhi dengan alasan tertentu yang masuk akal. Tetapi setidaknya dia sudah berani berterus terang dan belajar menganalisis serta berpendapat. Mungkin itu hal penting yang aku dapatkan dari peristiwa hari itu.
Sebagai sesama sulung saya melaukan hal sama ketika meminta sesuatu kepada orang tua. Kadang dikabulkan, seringnya tidak karena keterbatasan ekonomi mereka.
BalasHapusMaksud saya "melakukan".
HapusAnak-anak memang terkadang mengunginkan sesuatu namun tak melihat keadaan orang tua. Sebagai orang tua tentu sll ingin menuruti apa yang di inginkn anaknya hanya saja terkadang ada sesuatu hal yang tak langsung bisa menurutinya dan itu bukan krn tak sayang. Hehe
BalasHapusSetiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga cara menanggapinya pun harus berbeda pula.
BalasHapus